Oleh : Dr. Sarbaini, M.Pd
sarbainiunlambjm1959@gmail.com
Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM)
Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM)
Abstrak
Etnopedagogi
sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal terkait dengan
bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola
dan diwariskan oleh suatu entitas budaya. Istilah baiman, bauntung dan batuah
merupakan gambaran tentang konsepsi manusia, konsepsi dan praktik pendidikan
terhadap anak sebagai khasanah nilai-nilai luhur masyarakat suku Banjar yang
merupakan manifestasi pengetahuan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan,
dikelola dan diwariskan oleh leluhur masyarakat suku Banjar kepada
keturunannya.
Kata-kata
kunci: etnopedagogi, baiman,
bauntung, batuah, suku Banjar
Pendahuluan
Pada
saat ingin mengawali tulisan ini, penulis melakukan sedikit investigasi kepada
para mahasiswa dengan melakukan pertanyaan kepada mereka, " Apa yang biasa
didoakan oleh orang tua, khususnya sang ibu kepada anaknya, atau sang nenek
kepada cucunya. Mereka menjawab: "Tidak tahu" atau " doa yang
dikemukakan tidak sesuai dengan doa yang dulu didoakan oleh ibu atau nenek
saya. Pertanyaan kedua selanjutnya saya kemukakan:" Pernah kamu mendengar
doa yang bunyinya seperti ini, Mudahan nak ai ikam menjadi manusia nang
baiman, bauntung dan batuah"? Mendengar doa itu,
beberapa mahasiswa mengatakan pernah mendengar, terutama dari ibu dan nenek
mereka. Maknanya doa itu masih melekat dalam alam bawah sadar generasi muda
suku Banjar sebagai bagian proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai
kultur Banjar.
Memang
di dalam kehidupan masyarakat Banjar, terutama di daerah perdesaan yang masih
kental kultur budaya Banjar, pada saat ditanyakan kepada orang tua dari suku
Banjar, doa apakah yang dipanjatkan kepada Allah SWT, oleh orang tua kepada
anaknya, maka doa yang dipanjatkan biasanya adalah "Mudahan anakku menjadi
orang yang Baiman, Bauntung dan Batuah, panjang umur, murah
rezeki, hidup beserta iman dan mati beserta iman". Doa tersebut, biasanya
muncul pada saat seorang ibu, mendoakan kepada anak-anaknya, atau seorang nini
(nenek) kepada cucunya.
Doa
dengan ucapan " Mudahan Baiman, Bauntung dan Batuah"
selama ini hanya terbatas sebagai doa yang meluncur dari hati seorang ibu
kepada anaknya, atau nenek mendoakan kepada cucunya, saat mendendangkan untuk
tidur di ayunan, maupun meninabobokan di tempat tidur. Kosa kata "Baiman,
Bauntung dan Batuah" jika digali lebih dalam merupakan salah bentuk dari
kearifan lokal dalam pendidikan anak. Dalam ilmu pendidikan sekarang lebih
dikenal dengan etno pedagogi.
Artikel
ini mencoba melakukan kajian awal dari perspektif etnopedagogi terhadap makna
yang lebih dalam dari doa: " Mudahan menjadi urang nang baiman,
bauntung dan batuah" sebagai khasanah kearifan lokal
masyarakat, khususnya orang tua suku Banjar dalam mendidik anak menjadi sosok
manusia harapan di masa depan.
Pembahasan
1. Etnopedagogi
Krisis multidimensi di
Indonesia satu dekade terakhir yang memerlukan pemecahan berbasis
bukti (evidence-based) terutama dari
disiplin ilmu humaniora, termasuk pendidikan dan
pengajaran, melatarbelakangi muculnya ide Etnopedagogi. Ide tentang etnopedagogi di Indonesia muncul di kampus
UPI melalui pemikiran Alwasilah,et.al (2009) dan Kartadinata (2010). Istilah
etnopedagogi di UPI menurut Suratno (2010) dapat dipandang sebagai suatu
pesan terkait dengan dengan istilah budaya-karakter (aspek etno), dan
pendidikan keguruan (aspek pedagogi).
Alwasilah,
et.al (2009) mengemukakan dalam konteks budaya secara umum, etnopedagogi
menaruh perhatian khusus terhadap local genius dan local wisdom dengan mengungkap nilai-nilai budaya Sunda sebagai
model awal. Dalam perspektif hakikat pendidikan, baik
Alwasilah et al. (2009) maupun Sunaryo (2010) memandang
bahwa pendidikan tidak terlepas dari aspek sosial dan kultural.
Pendidikan bersifat deliberatif dalam arti masyarakat mentransmisikan dan mengabadikan
gagasan kehidupan yang baik yang berasal dari kepercayaan masyarakat yang
fundamental mengenai hakikat dunia, pengetahuan dan tata nilai (Alwasilah et al.,
2009, p16). Oleh karena itu, diperlukan reorientasi landasan ilmiah
mengenai pendidikan yang hirau terhadap nilai-nilai kemanusiaan,
sesuatu yang selama ini luput dari perhatian dikarenakan
kurangnya studi tentang landasan budaya pendidikan. Keutamaan
pendidikan hendaknya jangan sampai tereduksi menjadi hal-hal yang superficial,
sebagaimana terjadi kini pada rezim standarisasi, sehingga mengabaikan tujuan
luhur dari pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan yang membudayakan
(Suratno, 2010).
Berdasarkan analisis terhadap
dimensi budaya dan pendidikan, Alwasilah et al. (2009,
Suratno,2010)
memandang Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam
berbagai ranah serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi
dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat, yakni kearifan lokal
tersebut terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan,
diterapkan, dikelola dan diwariskan. Dalam hal ini, kearifan lokal memiliki ciri
(Suratno, 2010); berdasarkan
pengalaman; 2) teruji setelah digunakan berabad-abad; 3) dapat diadaptasikan
dengan kultur kini; 4) padu dengan praktik keseharian masyarakat dan lembaga;
5) lazim dilakukan oleh individu maupun masyarakat; 6) bersifat dinamis; dan 7)
sangat terkait dengan sistem kepercayaan.
2. Baiman, Bauntung dan Batuah
Istilah
baiman, bauntung dan batuah merupakan gambaran tentang konsepsi manusia
yang diharapkan oleh masyarakat Banjar dan tentang bagaimana hendaknya praktik
pendidikan dilakukan berbasis kearifan lokal. Konsepsi dan praktik pendidikan
terhadap anak merupakan khasanah nilai-nilai luhur masyarakat Banjar sebagai
manifestasi pengetahuan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan
diwariskan oleh leluhur masyarakat Banjar kepada keturunannya.
a.
Baiman
Baiman
maknanya adalah orang yang beriman. Orang beriman berarti harus paling tidak
mengetahui apa rukun iman dan dasar-dasar ketauhidan. Iman menjadi fondasi bagi
kehidupan orang Banjar. Untuk menjadi orang yang beriman, maka setiap orang tua
mendidik anak-anaknya agar belajar membaca Al Qur'an, belajar bacaan sholat,
belajar sholat, belajar membaca syair Maulud Habsyi atau Maulud Barzanji. Jika
tidak diajari oleh orangtuanya, maka orang tua memasukkan anak-anaknya ke
pondok-pondok pesantren, sekolah diniyah (atau waktu sore setelah sekolah di
SD), dan TPA, maupun belajar dengan Guru Mengaji di rumah dan di langgar. Di
rumah urang Banjar bahari selalu terdapat Kitab Parukunan, Kitab Surah Yasin,
dan Al Qur,an, hiasan kaligrafi Allah dan Muhammad, dan Ayat Kursi.Dengan
fondasi baiman, diharapkan dalam kehidupan si anak dapat menjadi manusia yang
bauntung.
b.
Bauntung
Bauntung
maknanya adalah bermanfaat atau berguna, bukan hanya sekedar untung saja.
Untung dalam bahasa Banjar berarti bernasib baik. Dengan berbasis pada
iman, dan dibekali ilmu keagaamaan, maka
insyaallah kehidupannya akan membawa manfaat dan berguna bagi dirinya sendiri,
ornag lain, masyarakat, dan lingkungan. Jika asas manfaat dan berguna ini
dengan landasan iman dan digunakan menurut proses keilmuan, maka kehidupannya
insyaallah akan bernasib baik. Jadi nasib baik, bukan karena keberuntungan
semata, tetapi ada koridor keimanan yang menjadi basis dari proses keilmuan
untuk pemanfaatan dirinya.
c.
Batuah
Batuah
maknanya adalah menjadi manusia yang mempunyai harkat dan martabat, bahkan
dalam taraf tertentu bisa menjadi karamah. Namun secara awam manusia yang
diharapkan paling tidak memiliki martabat yang mulia baik di dunia maupun di
akhirat. Tahap ketiga ini memadukan antara kebermanfaatan manusia dalam konteks
amaliah dunia dan amaliah akhirat berbasis iman yang kuat dan keilmuan yang
mumpuni. Jika dapat disodorkan sosok yang demikian, dapat dijadikan referensi
untuk sosok Urang Banua adalah Muhammad Arsyad al Banjari yang diberi gelar
Datu Kalampayan.
Simpulan
Manusia
nang Baiman, Bauntung dan Batuah layak menjadi kajian dalam perspektif
etnopedagogi, karena menggambarkan konsepsi dan praktek pendidikan yang telah
sekian lama dilakukan oleh masyarakat Banjar yang mengidamkan sosok manusia
yang berbasis iman dan keilmuan yang bersumber pada nilai agama dan adat budaya
Banjar sebagai manifestasi dari kearifan lokal dalam mendidik anak.
Kepustakaan
Alwasilah,
A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi:
Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Hapip, Abdul Djebar Hapip. (1997). Kamus Bahasa
Banjar-Indonesia. Edisi III. Banjarmasin
percetakan PT Grafika Wangi Kalimantan-Banjarmasin.
Kartadinata,
S. (2010). Etnopedagogik: Sebuah Resureksi Ilmu Pendidikan
(pedagogik).
Makalah disajikan pada 2nd International Seminar 2010
‘Practice Pedagogic in Global Education
Perspective’. PGSD UPI, Bandung, 17 May, 2010.
Nawawi, Ramli, dkk. (1984/1985). Tata Kelakuan
Di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan
Masyarakat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan Depdikbud.
Suratno, Tatang.
(2010). Memaknai Etnopedagogi sebagai Landasan Pendidikan Guru di Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Proceedings of The 4th International Conference
on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.
[1] Artikel. (2013).
Membangun Kearifan Lokal dan Masa Depan. Lambung Mangkurat University Sharing Knowledge,
2013. Banjarmasin: Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat, hal 123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar