Selasa, 16 Februari 2016



 BAIMAN, BAUNTUNG DAN BATUAH SEBAGAI SOSOK HARAPAN URANG BANUA ; KAJIAN AWAL ETNOPEDAGOGI [1]

Oleh : Dr. Sarbaini, M.Pd
sarbainiunlambjm1959@gmail.com
Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM)

Abstrak

Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan oleh suatu entitas budaya. Istilah baiman, bauntung dan batuah merupakan gambaran tentang konsepsi manusia, konsepsi dan praktik pendidikan terhadap anak sebagai khasanah nilai-nilai luhur masyarakat suku Banjar yang merupakan manifestasi pengetahuan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan oleh leluhur masyarakat suku Banjar kepada keturunannya.

Kata-kata kunci: etnopedagogi, baiman, bauntung, batuah, suku Banjar


Pendahuluan

Pada saat ingin mengawali tulisan ini, penulis melakukan sedikit investigasi kepada para mahasiswa dengan melakukan pertanyaan kepada mereka, " Apa yang biasa didoakan oleh orang tua, khususnya sang ibu kepada anaknya, atau sang nenek kepada cucunya. Mereka menjawab: "Tidak tahu" atau " doa yang dikemukakan tidak sesuai dengan doa yang dulu didoakan oleh ibu atau nenek saya. Pertanyaan kedua selanjutnya saya kemukakan:" Pernah kamu mendengar doa yang bunyinya seperti ini, Mudahan nak ai ikam menjadi manusia nang baiman, bauntung dan batuah"? Mendengar doa itu, beberapa mahasiswa mengatakan pernah mendengar, terutama dari ibu dan nenek mereka. Maknanya doa itu masih melekat dalam alam bawah sadar generasi muda suku Banjar sebagai bagian proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai kultur Banjar.
Memang di dalam kehidupan masyarakat Banjar, terutama di daerah perdesaan yang masih kental kultur budaya Banjar, pada saat ditanyakan kepada orang tua dari suku Banjar, doa apakah yang dipanjatkan kepada Allah SWT, oleh orang tua kepada anaknya, maka doa yang dipanjatkan biasanya adalah "Mudahan anakku menjadi orang yang Baiman, Bauntung dan Batuah, panjang umur, murah rezeki, hidup beserta iman dan mati beserta iman". Doa tersebut, biasanya muncul pada saat seorang ibu, mendoakan kepada anak-anaknya, atau seorang nini (nenek) kepada cucunya.
Doa dengan ucapan " Mudahan Baiman, Bauntung dan Batuah" selama ini hanya terbatas sebagai doa yang meluncur dari hati seorang ibu kepada anaknya, atau nenek mendoakan kepada cucunya, saat mendendangkan untuk tidur di ayunan, maupun meninabobokan di tempat tidur. Kosa kata "Baiman, Bauntung dan Batuah" jika digali lebih dalam merupakan salah bentuk dari kearifan lokal dalam pendidikan anak. Dalam ilmu pendidikan sekarang lebih dikenal dengan etno pedagogi.
Artikel ini mencoba melakukan kajian awal dari perspektif etnopedagogi terhadap makna yang lebih dalam dari doa: " Mudahan menjadi urang nang baiman, bauntung dan batuah" sebagai khasanah kearifan lokal masyarakat, khususnya orang tua suku Banjar dalam mendidik anak menjadi sosok manusia harapan di masa depan.

Pembahasan

1. Etnopedagogi
Krisis multidimensi di Indonesia satu dekade terakhir yang memerlukan pemecahan berbasis bukti (evidence-based) terutama dari disiplin ilmu humaniora, termasuk pendidikan dan pengajaran, melatarbelakangi muculnya ide Etnopedagogi. Ide tentang etnopedagogi di Indonesia muncul di kampus UPI melalui pemikiran Alwasilah,et.al (2009) dan Kartadinata (2010). Istilah etnopedagogi di UPI menurut Suratno (2010) dapat dipandang sebagai suatu pesan terkait dengan dengan istilah budaya-karakter (aspek etno), dan pendidikan keguruan (aspek pedagogi).
Alwasilah, et.al (2009) mengemukakan dalam konteks budaya secara umum, etnopedagogi menaruh perhatian khusus terhadap local genius dan local wisdom dengan mengungkap nilai-nilai budaya Sunda sebagai model awal. Dalam perspektif hakikat pendidikan, baik Alwasilah et al. (2009) maupun Sunaryo (2010) memandang bahwa pendidikan tidak terlepas dari aspek sosial dan kultural. Pendidikan bersifat deliberatif dalam arti masyarakat mentransmisikan dan mengabadikan gagasan kehidupan yang baik yang berasal dari kepercayaan masyarakat yang fundamental mengenai hakikat dunia, pengetahuan dan tata nilai (Alwasilah et al., 2009, p16). Oleh karena itu, diperlukan reorientasi landasan ilmiah mengenai pendidikan yang hirau terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sesuatu yang selama ini luput dari perhatian dikarenakan kurangnya studi tentang landasan budaya pendidikan. Keutamaan pendidikan hendaknya jangan sampai tereduksi menjadi hal-hal yang superficial, sebagaimana terjadi kini pada rezim standarisasi, sehingga mengabaikan tujuan luhur dari pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan yang membudayakan (Suratno, 2010).
Berdasarkan analisis terhadap dimensi budaya dan pendidikan, Alwasilah et al. (2009, Suratno,2010) memandang Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat, yakni kearifan lokal tersebut terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan. Dalam hal ini, kearifan lokal memiliki ciri (Suratno, 2010); berdasarkan pengalaman; 2) teruji setelah digunakan berabad-abad; 3) dapat diadaptasikan dengan kultur kini; 4) padu dengan praktik keseharian masyarakat dan lembaga; 5) lazim dilakukan oleh individu maupun masyarakat; 6) bersifat dinamis; dan 7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan.

2. Baiman, Bauntung dan Batuah
Istilah baiman, bauntung dan batuah merupakan gambaran tentang konsepsi manusia yang diharapkan oleh masyarakat Banjar dan tentang bagaimana hendaknya praktik pendidikan dilakukan berbasis kearifan lokal. Konsepsi dan praktik pendidikan terhadap anak merupakan khasanah nilai-nilai luhur masyarakat Banjar sebagai manifestasi pengetahuan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan oleh leluhur masyarakat Banjar kepada keturunannya.

a.         Baiman
Baiman maknanya adalah orang yang beriman. Orang beriman berarti harus paling tidak mengetahui apa rukun iman dan dasar-dasar ketauhidan. Iman menjadi fondasi bagi kehidupan orang Banjar. Untuk menjadi orang yang beriman, maka setiap orang tua mendidik anak-anaknya agar belajar membaca Al Qur'an, belajar bacaan sholat, belajar sholat, belajar membaca syair Maulud Habsyi atau Maulud Barzanji. Jika tidak diajari oleh orangtuanya, maka orang tua memasukkan anak-anaknya ke pondok-pondok pesantren, sekolah diniyah (atau waktu sore setelah sekolah di SD), dan TPA, maupun belajar dengan Guru Mengaji di rumah dan di langgar. Di rumah urang Banjar bahari selalu terdapat Kitab Parukunan, Kitab Surah Yasin, dan Al Qur,an, hiasan kaligrafi Allah dan Muhammad, dan Ayat Kursi.Dengan fondasi baiman, diharapkan dalam kehidupan si anak dapat menjadi manusia yang bauntung.

b.        Bauntung
Bauntung maknanya adalah bermanfaat atau berguna, bukan hanya sekedar untung saja. Untung dalam bahasa Banjar berarti bernasib baik. Dengan berbasis pada iman,  dan dibekali ilmu keagaamaan, maka insyaallah kehidupannya akan membawa manfaat dan berguna bagi dirinya sendiri, ornag lain, masyarakat, dan lingkungan. Jika asas manfaat dan berguna ini dengan landasan iman dan digunakan menurut proses keilmuan, maka kehidupannya insyaallah akan bernasib baik. Jadi nasib baik, bukan karena keberuntungan semata, tetapi ada koridor keimanan yang menjadi basis dari proses keilmuan untuk pemanfaatan dirinya.

c.         Batuah
Batuah maknanya adalah menjadi manusia yang mempunyai harkat dan martabat, bahkan dalam taraf tertentu bisa menjadi karamah. Namun secara awam manusia yang diharapkan paling tidak memiliki martabat yang mulia baik di dunia maupun di akhirat. Tahap ketiga ini memadukan antara kebermanfaatan manusia dalam konteks amaliah dunia dan amaliah akhirat berbasis iman yang kuat dan keilmuan yang mumpuni. Jika dapat disodorkan sosok yang demikian, dapat dijadikan referensi untuk sosok Urang Banua adalah Muhammad Arsyad al Banjari yang diberi gelar Datu Kalampayan.

Simpulan
Manusia nang Baiman, Bauntung dan Batuah layak menjadi kajian dalam perspektif etnopedagogi, karena menggambarkan konsepsi dan praktek pendidikan yang telah sekian lama dilakukan oleh masyarakat Banjar yang mengidamkan sosok manusia yang berbasis iman dan keilmuan yang bersumber pada nilai agama dan adat budaya Banjar sebagai manifestasi dari kearifan lokal dalam mendidik anak.

Kepustakaan
Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktek        Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Hapip, Abdul Djebar Hapip. (1997). Kamus Bahasa Banjar-Indonesia. Edisi III.     Banjarmasin percetakan PT Grafika Wangi Kalimantan-Banjarmasin.

Kartadinata, S. (2010). Etnopedagogik: Sebuah Resureksi Ilmu Pendidikan (pedagogik).
Makalah disajikan pada 2nd International Seminar 2010 ‘Practice Pedagogic in             Global Education Perspective’. PGSD UPI, Bandung, 17 May, 2010.

Nawawi, Ramli, dkk. (1984/1985). Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarga      dan Masyarakat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan          Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen          Kebudayaan Depdikbud.

Suratno, Tatang. (2010). Memaknai Etnopedagogi sebagai Landasan Pendidikan Guru di Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Proceedings of The 4th International          Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia,   8-10 November 2010.



[1] Artikel. (2013). Membangun Kearifan Lokal dan Masa Depan. Lambung Mangkurat University Sharing Knowledge, 2013. Banjarmasin: Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat, hal 123.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar