PKn PERSPEKTIF PENDIDIKAN NILAI
Dr.
Sarbaini, M.Pd
Prodi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
FKIP
Universitas Lambung Mangkurat
sarbaini.ULM1959@gmail.com
A.
Latar Belakang Pendidikan Nilai
Menurut
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu UU No.20 Tahun 2003 pasal 1
ayat 2, Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3 UU SPN Tahun
2003).
Undang-undang
tersebut memberikan landasan bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia, baik
dalam hal akar pendidikan, maupun fungsi dan
tujuan pendidikan. Ketiga hal tersebut, yakni, akar, fungsi dan tujuan
pendidikan hendaknya menyatu dalam suatu proses mengembangkan potensi peserta
didik sesuai dengan kepribadian yang dicita-citakan. Proses pendidikan adalah
proses untuk mengubah berbagai perilaku dan sikap-sikap (aspek-aspek
kepribadian) peserta didik yang ditunjang tiga komponen utama, yaitu tujuan
pendidikan, pengalaman belajar, dan prosedur evaluasi. Dengan demikian, proses
pendidikan membina seluruh aspek-aspek kepribadian peserta didik, baik aspek
perilaku maupun sikap secara kognitif, emosional, sosial dan motorik serta
dapat mencapai hasil optimal, jika ditunjang dengan waktu, fasilitas, alat
pendidikan serta fasilitas memadai, menuju sosok pribadi manusia yang
diharapkan menurut tujuan pendidikan nasional.
Hal
demikian mengisyaratkan keharusan untuk melaksanakan secara konsisten antara
tujuan pendidikan nasional yang diharapkan dengan tujuan pendidikan yang
dilakukan oleh praktisi di sekolah-sekolah. Sebagaimana Sauri (2009) tegaskan
pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 mengisyaratkan bahwa praktek
pendidikan di Indonesia diarahkan kepada upaya mengembangkan manusia utuh,
manusia yang bukan hanya cerdas dari aspek kecakapan intelektual saja,
melainkan juga kepribadian dan keterampilannya, atau dalam istilah lain sebagai
insan yang cerdas otaknya, lembut hatinya dan terampil tangannya (head, heart, hand).
Di Indonesia sendiri, lahirnya pendidikan nilai
akhir-akhir ini dibidani oleh kegagalan pola pendidikan modern yang tidak
membawa kedamaian dan perbaikan terhadap peradaban manusia. Hegemoni peradaban
Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific world view)
selain mengakibatkan dampak positif (di bidang sain dan teknologi), juga
mengakibatkan dampak negatif terhadap manusia. Dampak
negatif tersebut menjalar juga terhadap bidang ilmiah dengan hebat, khususnya
dalam bidang epistemologi. Hal itu berawal dari para pemikir raksasa yang
mencoba mengubah peradaban manusia. Salah satunya, Rene Descartes (1650 M)
sebagai icon Barat, yang menyandang gelar “bapak filsafat modern” dengan
prinsip “Aku berfikir, maka Aku ada” (cogito ergo sum), berhasil
menggiring peradaban manusia sebagai ‘pemuja’ rasio. Pendidikan era modern tersebut, yang lebih
menitikberatkan pada pendidikan bebas nilai (value free) telah
memporak-porandakan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Perubahan masyarakat akibat
perkembangan IPTEK membawa dampak yang besar pada budaya, nilai dan agama
(Susanto, 1998). Derasnya gelombang globalisasi mengakibatkan terjadinya
pergeseran nilai dan terjadinya degradasi moral pada peserta didik. Keluarga
dan sekolah akhir-akhir ini kebanyakan tidak dapat berperan sepenuhnya dalam
pembinaan moral, sehingga pembinaan moral saat ini (di lembaga formal
nonformal, dan informal) merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Jika pun
pendidikan dikatakan sudah tidak bebas nilai, dan sudah menganut nilai
tertentu, maka nilai yang menjadi orientasi utama dalam pendidikan adalah nilai
ekonomis dan pragmatisme, karena diarahkan pada ajang pemenuhan tuntutan pasar
semata, karena hal itu sebenarnya merupakan tuntutan kalangan kapitalis yang
sarat dengan nilai pragmatisme dan ekonomis. Sehingga dalam dunia pendidikan
dan masyarakat terjadi :
- Pergeseran sistem pendidikan Indonesia yang cenderung berorientasi pada pemenuhan kepentingan kalangan kapitalis, mengejar target indikator dengan standar keberhasilan pendidikan hanya menggunakan ukuran-ukuran formal yang bertumpu pada nilai akademik (UAN), rating sekolah dan fasilitas fisik berbasis teknologi (SBI, SSN). Semua tenaga dan waktu yang dimiliki sekolah dialokasikan hanya untuk memacu kemampuan kognitif siswa. Akibatnya fungsi-fungsi normatif pendidikan sebagai arena pembelajaran dan penyadaran siswa sebagai sosok pribadi manusia cenderung terabaikan. Sekolah sebagai institusi yang semestinya menanamkan nilai-nilai moral seperti kepatuhan, rasa toleransi, kebersamaan dan musyawarah kian memudar, berganti menjadi ajang kompetisi individualistis, bahkan menunjukkan ketidakpatuhan pada norma-norma yang menjadi akar pendidikan, yaitu nilai-nilai agama dan budaya.
- Perubahan sosial di masyarakat telah terjadi pergeseran nilai atau orientasi, serta format relasi, bahkan ditenggarai anomi. Hal ini tampak pada merasuknya teknologi yang mendorong masyarakat cenderung berpikir instan dan pragmatis, secara struktural telah mempengaruhi pola interaksi seseorang, termasuk peserta didik. Visualisasi media sebagai pentas realitas dan ekspresi identitas, terjerembab sebagai instrumen pengganda kultur kekerasan dan kebebasan untuk melanggar norma-norma luhur, yakni nilai-nilai agama dan budaya. Media yang terlalu banyak menampilkan tayangan-tayangan menjadi inspirasi dan tuntunan bagi remaja untuk mendapatkan citranya sebagai yang “tak terkalahkan”dan “boleh melanggar” norma apa saja.
- Sekarang ini sudah menggejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka mengabaikan nilai-nilai moral, bahkan tidak mematuhi tata krama pergaulan, yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab. Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya, yang menimbulkan keresahan pada masyarakat.
Padahal pendidikan
juga merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik dalam
membentuk watak dan kehidupan warga negara Indonesia yang potensial, dan bangsa yang bermartabat dan beradab
berlandaskan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk mewujudkan hal demikian, maka
pada setiap jenjang persekolahan wajib dibina program yang harus memperhatikan
dan berlandaskan 10 Nilai Luhur sebagai Moralitas/Keharusan (Djahiri, 2009),
pengembangan kurikulum dilakukan hendaknya mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional di Indonesia. Salah satu
program pendidikan yang peduli dengan pembentukan kepribadian manusia secara
utuh dan menyeluruh adalah program Pendidikan Umum. 10 Nilai Luhur sebagai
Moralitas/Keharusan itu terdapat dalam Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu Iman,
Takwa, Akhlak Mulia, Sehat, Berilmu, Cakap, Kreatif, Mandiri, Demokratis dan
Bertanggungjawab.
B.
Pendidikan Nilai
1.
Nilai
Dalam kajian
filsafat, nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi. Cabang filsafat
yang mempelajarinya, muncul untuk pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19
(Frondizi, 2001). Semenjak zaman
Yunani purba, para filosof telah menulis teori tentang problema nilai. Pada
dasarnya dalam perspektif Islam, pendidikan nilai lahir
14 abad yang silam, bersamaan dengan lahirnya Islam yang dibawakan oleh
Rasulullah saw. Walaupun waktu itu namanya tidak populer dengan istilah
”nilai”.
Isu tentang nilai muncul kembali di panggung
peradaban manusia pada masa perang dingin (1945-1989). Menurut Supriadi (Mulyana,
2004) selama perang dingin isu-isu tentang nilai, moral, etika, kehidupan, juga
kelestarian lingkungan sangat menonjol. Pada era ini pula, studi tentang polemologi
(yang mengkhususkan diri pada asal-usul hakekat) dan dimensi perdamaian serta
cara-cara menciptakannya sangat populer. Orang pun menjadi sangat sensitif terhadap isu-isu apapun yang bermuatan
nilai.
Nilai
sering kali dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan
oleh sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Contohnya seorang sosiolog
mendefinisikan nilai sebagai suatu keinginan, kebutuhan, dan kesenangan seseorang sampai pada sanksi
dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog akan menafsirkan nilai
sebagai suatu kecenderungan perilaku yang
berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan
dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada tahap wujud tingkah
lakunya yang unik. Sedangkan seorang ekonom memandang nilai
sebagai ‘harga” suatu produk dan pelayanan yang dapat
diandalkan untuk kesejahteraan manusia,
Perbedaan perspektif ini tentu saja berimplikasi pada perumusan nilai (Baier,2003).
Nilai
diuraikan dalam dua gagasan yang saling berseberangan. Di satu sisi, nilai
dibicarakan sebagai nilai ekonomi yang disandarkan pada nilai produk, kesejahteraan
dan harga, penghargaan tinggi yang bersifat material. Sisi lainnya, nilai
digunakan untuk mewakili gagasan atau
makna abstrak dan sulit diukur, antara lain keadilan, kejujuran, kebebasan,
kedamaian, dan persamaan. ( UNESCO, 1993).
Kniker (1977), berpendapat bahwa nilai merupakan
istilah yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Dalam gagasan pendidikan
nilai, bahwa nilai selain ditempatkan sebagai inti dari proses dan tujuan
pembelajaran, setiap huruf yang terkandung dalam kata value dirasionalisasikan sebagai tindakan pendidikan. Karena itu
dalam pengembangan sejumlah strategi belajar nilai, ia selalu menampilkan lima
tahapan penyadaran nilai sesuai dengan jumlah huruf yang terkandung dalan kata value, yakni :
ü Value identification
(identifikasi nilai). Pada tahapan ini, nilai yang menjadi target pembelajaran
perlu diketahui oleh siswa
ü Activity
(kegiatan). Pada tahapan ini siswa dibimbing untuk melakukan tindakan yang
diarahkan pada penyadaran nilai yang menjadi target pembelajaran
ü Learning aids
(alat bantu belajar), adalah benda-benda yang berfungsi sebagai alat bantu
belajar yang dapat memperlancar proses belajar nilai, seperti cerita, film atau
benda lain yang sesuai dengan topik nilai.
ü Unit interaction
(interaksi kesatuan). Tahapan ini melanjutkan tahapan kegiatan dengan semakin
memperbanyak strategi atau cara yang dapat menyadarkan siswa terhadap nilai
ü Evaluation segment (bagian
evaluasi). Tahapan ini diperlukan untuk memeriksa kemajuan belajar nilai
melalui penggunaan beragam teknik evaluasi nilai.
Rokeach (1973), nilai adalah suatu keyakinan
abadi (an enduring belief) yang
menjadi rujukan bagi cara bertingkah laku atau tujuan akhir eksistensi (mode of conduct or end-state of existence)
yang merupakan preferensi tentang konsepsi yang lebih baik (conception of the preferable) atau
konsepsi tentang segala sesuatu yang secara personal dan sosial dipandang lebih
baik (that is personalyy or socially
preferable).Keyakinan dalam konsep Rokeach, bukan hanya pemahaman dalam
suatu skema konseptual, tapi juga predisposisi untuk bertingkahlaku yang sesuai
dengan perasaaan terhadap obyek dari keyakinan tersebut. Karena itu, bagi
Rokeach, nilai sebagai keyakinan memiliki aspek kognitif, afektif dan tingkah
laku;
ü Aspek
kognitif nilai adalah
mengenai tentang apa yang diinginkan, menjelaskan pengetahuan, opini dan
pemikiran individu tentang apa yang diinginkan
ü Aspek
afektif nilai, individu
atau kelompok memiliki emosi terhadap apa yang diinginkan, sehingga nilai
menjelaskan perasaan individu atau kelompok terhadap apa yang diinginkan.
ü Aspek
psikomotor nilai, nilai
merupakan elemen yang berpengaruh dalam mengarahkan tingkah laku yang
ditampilkan.
Nilai baik sebagai keyakinan, ide, konsep, standar,
prinsip maupun harga, sifatnya tersembunyi dan abstrak di belakang fakta. Orang
ketika berbicara satu nilai, baru tahap konseptual, namun jika menampilkan
perilaku (menilai,memutuskan, melakukan) maka telah melahirkan fakta nilai.
Jadi nilai dapat diketahui melalui indikator atau instrument petunjuk nilai
yang dianut seseorang atau kelompok. Indikator menunjukkan suatu nilai bersumber pada dari
apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang. Apa yang dikatakan seseorang bisa
member petunjuk mengenai apa nilai yang dianut atau diyakininya, kata-kata
dapat muncul dalam berbagai bentuk (Fraenkel, 1977).
2.
Pendidikan Nilai
Pendidikan Nilai
digunakan sebagai proses untuk membantu peserta didik dalam mengeksplorasi
nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis, sehingga mereka dapat
meningkatkan atau memperbaiki kualitas berpikir dan perasaannya. Pendidikan
nilai sangat diperlukan karena pemahaman terhadap suatu nilai tidak dapat
dilakukan dengan akal budi, melainkan harus dengan hati nurani. (Tim Apnieve-Unesco,
1995). Pendidikan nilai adalah
manifestasi dari non scholae sed vitae discimus. Pendidikan bukan non
vitae sed scholae discimus (belajar bukan untuk kehidupan melainkan untuk
sekolah). Pendidikan harus bercorak non scholae sed vitae discimus, kita
belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk kehidupan.
Menurut Rena (2006) Pendidikan
Nilai tidak hanya sebagai hati dari pendidikan (heart of education), tetapi juga sebagai pendidikan hati (education of heart). Pendidikan Nilai
adalah komponen yang diperlukan bagi pendidikan kewarganegaraan secara
holistik. Karenanya mengajar nilai-nilai, tidak hanya mengajar bagaimana
menilai, tapi juga bagaimana memberikan pengetahuan dalam tingkat pemahaman dan
wawasan yang lebih dalam. Pengalaman belajar secara holistik bertujuan untuk
melakukan internalisasi nilai-nilai oleh pembelajar dan menterjemahkannya ke
dalam perilaku pembelajar. Internalisasi dan pewujudan nilai-nilai ke dalam
perilaku pastilah berbasis fitrah dasar manusia yang menuju kepada pribadi
manusia yang diharapkan. Hal demikian sejalan dengan pendapat Sauri (2009)
bahwa Pendidikan Nilai dapat dimaknai sebagai upaya yang dilakukan secara sadar
dan terencana dalam rangka mengembangkan fitrah dasar manusia secara utuh
menuju terbentuknya insan berakhlakul karimah.
Secara tegas
pelaksanaan PKn Perspektif Pendidikan Nilai di Indonesia adalah sebagai upaya
penanaman dan pengembangan nilai pada diri pribadi, berupa pemberian bantuan
agar peserta didik dapat menyadari dan mengalami nilai-nilai, serta agar mampu
menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya, dalam menuju terbentuknya
insan berakhlakul karimah. Pelaksanaan PKn perspektif Pendidikan Nilai di Indonesia
demikian tentulah tidak terpisahkan dari visi Pendidikan Nilai yang sarat
dengan muatan nilai, misi dan tujuan mengenai sosok pribadi manusia Indonesia
yang utuh, padu dan menyeluruh
C.
Teori-Teori Pendidikan Nilai
Teori-teori
yang dikemukakan di sini berkaitan dengan pendidikan nilai, khususnya peroleh
nilai moral yang diterapkan untuk peserta didik sebagai calon warga negara yang
baik. Teori-teori ini berbasis pada pandangan-pandangan psikologis, sosiologis,
psiko-fisikologis moralitas, perkembangan moral, dan karakter moral yang
dirujuk dari Vessel dan Huitts (2005), Downey dan Kelly (1982) dan Puente
(1998)
1.
Teori berbasis Eksternal/Sosial, dianut kalangan
behavioris dan sosiolog. Secara
umum memandang nilai dan moralitas adalah produk dari pengaruh eksternal
dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi dan/atau transmisi peraturan-peraturan
sosial dan norma-norma secara berturut-turut.
Kalangan behavioristik, khususnya kalangan operant conditioning, memandang semua perilaku, termasuk perilaku nilai
moral adalah hasil aplikasi dari konsekuensi-konsekuensi lingkungan, dan fokus
hanya pada perilaku. Proses-proses menalar, mempengaruhi, kemauan, dan internal
lainnya adalah pikiran yang ditentukan oleh pengaruh-pengaruh lingkungan
terhadap perilaku.
Para
sosiolog menganggap bahwa individu sebagai kertas kosong, dan melihat moralitas
serta karakter sebagai sesuatu yang sudah tertanam dalam masyarakat dan budaya,
dengan lebih fokus pada nilai-nilai, adat-istiadat, norma-norma dan
contoh-contoh moral dalam lingkungan. Di samping itu, para sosiolog juga
memandang bahwa transmisi norma-norma moral dan harapan-harapan dilakukan dari
satu generasi ke generasi berikutnya, melalui model dan penjelasan. Juga, para sosiolog menekankan pentingnya
lingkungan sosial dan sekolah sebagai keseluruhan yang berpengaruh kuat
terhadap perilaku moral melalui norma-norma kelompok budaya dengan cara memberikan
contoh-contoh spesifik dari perilaku moral, dan mempengaruhi pemikiran tentang
peristiwa-peristiwa moral. Sekolah dilihat pula sebagai sistem sosial dengan
model-model organisasi dan ideologinya mempunyai pengaruh moral melalui
sosialisasi yang dilaksanakannya terhadap peserta didik dan kultur, selain
meneruskan nilai-nilai, juga religi-religi adalah inti kekuatan kultural yang
diakui dan didukung.
2.
Teori berbasis
Internal/Psikologis, dianut
kalangan nativis dan sosiobiologis yang secara umum fokus terhadap
pengaruh-pengaruh genetik dan kematangan. Terdapat dua teori utama yang
menekankan pada pengaruh genetik dan kematangan terhadap pembinaan karakter,
yaitu; teori nativisme dan sosiobiologi.
Filosof nativisme percaya bahwa sifat
dasar manusia secara esensial baik dan pengaruh-pengaruh sosial yang tidak
sehat, sebaiknya tidak dibolehkan untuk merintangi perkembangan alami dari
kecendrungan-kecendrungan anak untuk berpikir, merasa dan bertindak secara
moral.
Kalangan sosiobiologis memandang bahwa
pengertian terhadap benar dan salah adalah hasil dari evolusi biologis yang
berinteraksi dengan kultural dan kebiasaan sosial. Teori fisiologi
menitikberatkan pada pengolahan kognitif manusia yang dibawa sejak lahir dan
menyatakan bahwa anak mengembangkan perasaan benar dan salah serta nilai-nilai
moral melalui suatu analisis dari persaingan pilihan-pilihan. Kalangan ini
mengusulkan untuk mengajar anak berpikir kritis tentang persaingan nilai-nilai
dan pilihan-pilihan, serta mendukung anak butuh untuk diajar materi spesifik
dari perilaku sebelum diajak berpikir kritis dan penalaran moral. Beberapa
peneliti fokus pada emosi-emosi manusia yang dibawa sejak lahir sebagai fondasi
untuk pembinaan karakter, dan telah mengidentifikasi beberapa emosi dasar yang
memainkan peranan mendasar dalam moralitas, termasuk keharuan, perasaan
bersalah, malu, simpati, dan khususnya empati sebaiknya dipertimbangkan sebagai
emosi esensial untuk motivasi moral.
3.
Teori berbasis Interaksional, dibagi
dalam sub-sub kategori instinctual (psikoanalisis, psikososial,
dan analisis sosial yang memandang sifat dasar manusia sebagai instinktual,
belum berkembang, dan butuh kontrol atau sosialisasi), dan maturational (teori-teori perkembangan kognitif, afektif dan
belajar sosial yang memandang sifat dasar manusia adalah baik).
Dari perspektif psikoanalisis
mengemukakan sifat dasar manusia secara naluriah anti-sosial dan belum
berkembang dan harus dibenahi dan disosialisasikan. Untuk memecahkan konflik
antara norma-norma biologi dan sosial, individu harus belajar prinsip-prinsip
moral, dan mengarahkan kehidupannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbasis
alasan, sehingga kepribadian dianggap
sebagai produk perkembangan sosial dan emosional dengan tuntutan-tuntutan
sosial sebagai rangkaian problem-problem yang mesti dipecahkan.
Aliran perkembangan kognitif berbasis
karya Piaget dan Kohlberg, memandang semua anak cendrung ikut serta dalam
berpikir, merasakan, memilih dan bertindak moral dan etis. Interaksi anak
dengan lingkungan adalah berpengaruh kuat, namun berpikir adalah proses utama
yang memungkinkan anak bergerak ke dunia moral. Kalangan teorisi
kognitif-sosial secara umum fokus pada agen personal dan kebebasan untuk
memilih, dan mengusulkan bahwa dengan kebebasan itu menghasilkan tanggungjawab
untuk membuat keputusan-keputusan yang baik dan bertindak secara moral.
4.
Teori berbasis
kepribadian/Identitas, termasuk
teori-teori yang menemukan kebajikan berakar dalam
kepribadian dan identitas pribadi. Pendukung teori ini melihat kebajikan
sebagai paduan dari kecendrungan-kecendrungan alami, dan interaksi-interaksi
dengan lingkungan yang mengikutsertakan refleksi dan komitmen terhadap terhadap
nilai-nilai dan perilaku. Seperti
bangunan-bangunan kepribadian, kebajikan-kebajikan adalah cara-cara yang biasa
dilakukan dalam berpikir, merasakan, melakukan dan tindakan yang mencerminkan
karakter moral. Kalangan teori berbasis kepribadian menyarankan (a) kebajikan-kebajikan adalah aspek dominan
dari identitas moral; (b) mengembangkan
daftar kebajikan; dan (c) setiap bagian dari pendidikan mengembangkan daftar
nilai-nilai, kebajikan-kebajikan, dan ciri-ciri karakter yang akan dilembagakan
kepada sekolah-sekolah.
5.
Teori
psikoanalitik,
berpandangan bahwa sebagian besar tingkah laku manusia digerakkan oleh daya-daya psikodinamik seperti motif,
konflik dan kecemasan. Pendekatan ini merupakan kerja monumental Freud yang
melihat moralitas sebagai konformitas terhadap standar-standar kultural melalui
proses internalisasi. Pendekatan psikonalisis menekankan signifikansi dari
pengalaman-pengalaman emosional lebih dini dalam membentuk superego suatu
kesadaran.
6.
Teori
behavioristik, menekankan pada
proses belajar serta peranan lingkungan merupakan kondisi langsung belajar
dalam menjelaskan tingkat laku. Lebih dikenal dengan teori belajar sosial, atau
“observational
learning” merupakan hasil dari
kerja Sears, Bandura, Eysenck yang mengasumsikan bahwa perilaku moral adalah
hasil dari meneladani anak untuk dirinya sendiri terhadap orang dewasa yang
dikagumi. Teori-teori belajar sosial menitikberatkan terutama pada aspek
belajar moral, yaitu pelatihan moral, kebiasaan-kebiasaan moral, efek-efek
keteladanan, ganjaran dan hukuman terhadap perilaku anak. Inti
pendekatan ini adalah bahwa perilaku seseorang diperoleh melalui proses
peniruan perilaku orang lain. Individu meniru perilaku orang lain, karena
konsekuensi yang diterima oleh orang lain yang menampilkan perilaku tersebut
positif, dalam pandangan individu tadi. Jika kita ingin mensosialisasikan hidup
secara teratur, maka caranya adalah memberikan contoh. Di samping itu, bisa
juga menciptakan model yang layak untuk ditiru.
Teori psikoanalitik dan teori belajar sosial memandang moralitas atau perilaku
moral adalah konformitas terhadap berbagai bentuk norma kultural atau sosial.
7.
Teori
perkembangan kognitif mengemukakan
bahwa struktur kognitif mengalami perkembangan dan pengetahuan merupakan entry
behavior yang dominan mempengaruhi.Teori ini hasil kerja Piaget dan Kohlberg,
yang memandang perkembangan moral sebagai proses yang aktif, dinamis dan
kontruktif mengarahkan kepada kondisi agar individu mampu bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip moral yang ia terima, sebab ia memahaminya dan sepakat
dengannya atau melakukan untuk dirinya sendiri.
8.
Teori Romantis, dikemukakan J.J.Rousseau dalam bukunya
Emil. Teori ini mengacu pada prinsip-prinsip perasaan dan kebebasan. Menurut
teori ini, perkembangan integral dari individu secara fisik, intelektual dan
emosional diterima sebagai tanggung jawab fundamental. Sekolah dan keluarga
harus mendesain lingkungan yang memfasilitasi perkembangan dari semua potensi
yang dimiliki sejak lahir oleh para pelajar.
Dari pandangan psikologis, teori romantis paralel dengan teori
genetis-organis yang terutama diwakili oleh Freud. Teori psikologis memahami
pikiran anak sebagai organisme biologis disiapkan untuk tumbuh, selama
lingkungan mengembangkannya. Freud memandang perkembangan moral tumbuh dalam
bentuk yang pararel dengan perkembangan fisik, dan merupakan rangkaian dari
tahap-tahap yang berhubungan dengan perkembangan psiko-seksual. Tahap-tahap itu
secara mendasar turun-menurun melalui beberapa faktor sosial yang dapat
mendukung atau menunda perasaan mereka. Oleh karena itu, perkembangan moral
tergantung pada evolusi natural dan spontan dari dorongan-dorongan dan
emosi-emosi.
Kalangan sosiologis mengemukakan dari teori romantis muncul
individualisme, yang menuntut bahwa moralitas tumbuh dari individu sebagai
ekspresi dari tindakan personal. Individu secara kronologis dan moral
diprioritaskan untuk masyarakat. Semua nilai-nilai diperoleh dari individu dan
mereka mengekspresikan diri mereka sendiri dalam masyarakat yang dibentuk oleh
individu-individu. Berbeda dengan teori individualistik lainnya, teori ini
menganggap bahwa faktor kognitif tidak memainkan peranan fundamental dalam
perkembangan norma moral dalam perkembangan pertimbangan moral.
9.
Teori Transmisi Kultural memahami pikiran sebagai “tabula
rasa” yang menjadi tempat disimpannya
pengalaman-pengalaman dari lingkungan. Pikiran pada awalnya kosong dan
pasif. Teori ini diinspirasi oleh paham hubungan dan prinsip-prinsip dari
stimulus-respon, penguatan, hukuman, dan sebagainya. Locke, Watson, Thorndike,
dan Skinner adalah tokoh yang amat relevan mewakili teori ini. Pandangan
kognitif mengasumsikan bahwa konsep-konsep dan struktur-struktur adalah
refleksi dari semua yang ada di luar dunia fisik dan sosial individu.
Perkembangan individu terjadi melalui instruksi langsung atau imitasi terhadap
model-model orang dewasa dengan menekankan pada perolehan pengetahuan,
kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan. Perolehan dari perilaku
moral ditentukan melalui prinsip-prinsip umum yang sama dari belajar. Menurut
teori ini asal mula dari moralitas bukan individual, tetapi masyarakat.
Pendekatan masyarakat Durkheim memahami bahwa moralitas sebagai
bentuk persoalan akomodasi dari individu terhadap nilai-nilai masyarakat
melalui proses adaptasi dan internalisasi. Masyarakat adalah prioritas bagi
individu, baik secara kronologis maupun moral. Masyarakat adalah sumber dari
semua nilai-nilai yang dicerminkan oleh individu, maka perilaku moral individu
ditentukan oleh peraturan-peraturan, dan dalam mengikuti peraturan-peraturan
yang ditentukan oleh masyarakat, individu akan menjadi bermoral atau tidak
bermoral adalah tergantung pada tingkat penerimaannya terhadap
peraturan-peraturan itu. Dari perspektif ini, individu harus dididik untuk disiplin dan berakar pada
masyakat. Ketika dua aspek itu dengan kuat ditanamkan, individu-individu mampu
tinggal di masyarakat, sebab mereka secara moral disiapkan untuk mematuhi dan
menjalankan peraturan-peraturan. Moralitas bukan sistem dari adat-istiadat,
tetapi sistem dari kewajiban-kewajiban. Jadi, moralitas diperlukan untuk
mengembangkan pengertian manusia terhadap disiplin dan rasa hormat terhadap
otoritas. Peraturan-peraturan secara sama-sama ditentukan untuk semua, dan
mereka yang menjalankannya adalah untuk dipatuhi dan dihormati.
10.
Teori progresionist atau perkembangan kognitif adalah
dialetika, karena menolak dikotomi antara faktor kematangan (bawaan) dan faktor
lingkungan. Baik peran dalam definisi pribadi maupun fungsi dalam cara yang
diucapkan; atau sebaliknya mungkin beberapa faktor yang memperlambat
perkembangan kognitif dan moral. Kadang-kadang, faktor-faktor bawaan tertentu
mulai konflik dengan faktor-faktor lingkungan, dan dari pemecahannya lebih
memajukan fase-fase perkembangan dan lebih menumbuhkan kematangan
perilaku-perilaku moral. Teori perkembangan kognitif berasal dari Plato, yang
diberikan makna baru oleh Hegel dan terakhir digabungkan ke dalam pandangan
secara psikologis oleh Dewey dan Piaget. Piaget dan Dewey menegaskan bahwa
kematangan berpikir tidak tergantung pada faktor genetik atau sosial; tetapi ia
adalah hasil dari reorganisasi struktur psikologis yang digerakkan dari
interaksi antara organisme dan lingkungan.
D.
Pendekatan Pendidikan Nilai
Hersh, et. al. (1980), mengemukakah
di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan;
yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan
klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan
perilaku sosial. Sementara Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang
berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan
pendekatan perilaku. Klasifikasi ini menurut Rest (1992) didasarkan pada tiga
unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku,
kognisi, dan afeksi, dan Superka.et.al. (1976) mengutarakan lima pendekatan,
yaitu: (1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation
approach), (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) Pendekatan analisis
nilai (values analysis approach), (4)
Pendekatan klarifikasi nilai (values
clarification approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai
sosial dalam diri siswa. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah:
Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua,
berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang
diinginkan. Adapun metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut
pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif,
simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat
untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan
agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat
nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak.
Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses
pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti
dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah
jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan
harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya.
Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
2. Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan
kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan
perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang
masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan
moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir
dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju
suatu tingkat yang lebih tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada
dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan
moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua,
mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan
posisinya dalam suatu masalah moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan
ini didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok.
Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama,
mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua,
adanya dilema, baik dilema hipotetikal maupun dilema faktual berhubungan dengan
nilai dalam kehidupan keseharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung
bagi berlangsungnya diskusi dengan baik. Proses diskusi dimulai dengan
penyajian cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong
untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat,
apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu
dengan teman-temannya.
3. Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis
approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk
berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan
nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif,
salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai
lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai
sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema
moral yang bersifat perseorangan.
Terdapat dua tujuan
utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa
untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam
menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral
tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir
rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang
nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan
adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah
sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan
lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional.
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification
approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji
perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang
nilai-nilai mereka sendiri. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama,
membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri
serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu
berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan
nilai-nilainya sendiri; Ketiga, membantu siswa, supaya mereka mampu
menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran
emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka
sendiri. Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog,
menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain
5. Pendekatan Pembelajaran
Berbuat
atau Melayani
Pendekatan pembelajaran berbuat
atau melayani (service
or action learning
approach) memberi penekanan
pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
perbuatan-perbuatan atau pelayanan moral, baik secara perseorangan maupun secara
bersama-sama dalam suatu kelompok. Terdapat dua tujuan utama pendidikan moral
berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada
siswa untuk melakukan perbuatan dan pelayanan moral, baik secara perseorangan maupun secara
bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong
siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya,
melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus berpartisipasi
sebagai kewajiban moral untuk mengambil
bagian dalam suatu proses demokrasi. Metoda-metoda pengajaran yang digunakan
dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam
pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah projek-projek
tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek
keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama.
Di antara lima pendekatan di atas, pendekatan penanaman
nilai (inculcation approach) merupakan pendekatan yang paling tepat
digunakan dalam pelaksanaan Pendidikan Nilai di Indonesia. Walaupun pendekatan
ini dikritik sebagai pendekatan indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal,
namun berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah
Pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk
mendukung pandangan ini antara lain sebagai berikut.
1.
Tujuan
Pendidikan Nilai adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri siswa.
Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni
nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya,
yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia.
2.
Menurut
nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup Pancasila,
manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Setiap hak
senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak sebagai pembeli, disertai
kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual; hak sebagai anak, disertai dengan
kewajiban sebagai anak terhadap orang tua; hak sebagai pegawai negeri, disertai
kewajiban sebagai pegawai negeri terhadap masyarakat dan negara; dan
sebagainya. Dalam rangka Pendidikan Nilai, siswa perlu diperkenalkan dengan hak
dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban
tersebut dengan sebaik-baiknya.
3.
Menurut
konsep Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk
sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia
memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang melekat
eksistensi kemanusiaannya itu. Hak dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai
secara berimbang. Dalam rangka Pendidikan Nilai, siswa juga perlu diperkenalkan
dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia.
Dalam pengajaran nilai di Indonesia, faktor isi atau
nilai merupakan hal yang amat penting. Dalam hal ini berbeda dengan pendidikan
moral dalam masyarakat liberal, yang hanya mementingkan proses atau
keterampilan dalam membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut
pandangan tersebut adalah suatu indoktrinasi, yang harus dijauhi. Anak harus
diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri. Pandangan
ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, berzina, berjudi, adalah
perhuatan tercela, yang harus dihindari; orang tua harus dihormati, dan
sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman
tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam pengajaran
nilai faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-sama penting.
E.
Model-Model Pendidikan
Nilai
Terdapat empat model pendidikan moral atau budi
pekerti yang dapat digunakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu teknik
pengungkapan nilai, analisis nilai, pengembangan kognitif moral, dan tindakan
sosial (Hersh, 1980);
ü Model
pengungkapan nilai pada dasarnya berakar
pada dialog yang tujuannya bukan untuk mengenalkan nilai tertentu kepada
peserta didik, tetapi untuk membantu menggunakan dan menerapkan nilai dalam kehidupan.
ü Model analisis nilai adalah model yang membantu peserta didik
mempelajari pengambilan keputusan melalui proses langkah demi langkah dengan
cara yang sangat sistematis. Model ini akan memberi makna bila dihadapkan pada
upaya menangani isu-isu kebijakan yang kompleks.
ü Pengembangan kognitif moral adalah model yang membantu peserta didik berpikir
melalui pertentangan dengan cara yang lebih jelas dan menyeluruh melalui
tahapan-tahapan umum dari pertimbangan moral.
ü Tindakan sosial adalah model yang bertujuan meningkatkan keefektifan peserta
didik mengungkap, meneliti, dan memecahkan masalah sosial. Terdapat empat hal
penting yang perlu diperhatikan dalam menggunakan model pendidikan moral, yaitu berfokus pada
kehidupan, penerimaan akan sesuatu, memerlukan refleksi lebih lanjut, dan harus
mengarah pada tujuan (Raths,at.al,1978).
SUMBER RUJUKAN
Baier, Kurt.(2003) dalam Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai.
Bandung: Alfabeta.
Downey,
Mereil and Kelly, A.V. (1982). Moral Education; Theory and Practice. London:
Harper & Row, Publisher
Djahiri, Kosasih. (2009), Handbook Perkuliahan Metoda Analisis Nilai
Moral. Bandung: SPS UPI Bandung.
Elias, J. L. 1989. Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E. Krieger
Publishing Co., Inc.
Fraenkel, Jack.R. (1977). How to
Teach About Values: An Analytic Approach. New Jersey:
Prentice Hall, Inc.
Hersh, R.H., Miller, J.P. & Fielding, G.D.
1980. Model of Moral Education: an Appraisal. New York: Longman, Inc.
Kniker, Charles.R. (1977). You and Values Education. Columbus, Ohio: Charles E.Merrill Publishing Company.
Puente, Anibal. (1998). Structures of Cognitive and Moral
Development. (Online). Tersedia: http://www.crvp.org/book/Series05/V-4/contents.htm.[5
Oktober 2009].
Raths, Louis.E.,Harmin, Merril and Simon, Sidney.(1978). Values and Teaching; Working with
Values in the Classroom. Second Edition. Sydney: Charless E.Merrill Publishing Company.
Rena, Ravinder. (2006). Value-based Education for Human Development.
Mai Nefhi Asmara, Eritrea : Eritrean
Perspective Eritrea Institute of Technology.
Rest,J.R.(1992). Komponen-komponen Utama Moralitas. dalam Kurtines, W.M. & Gerwitz,
J.L. (pnyt.). Moralitas, Perilaku Moral,
dan Perkembangan Moral. Terj. Soelaeman, M.I. &
Dahlan, M.D. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Rokeach, M. (1973). The Nature of Human
Values. New York: The Free Press
Sauri (2009). Menuju Tenaga Kependidikan Profesional. Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana Strata Satu dan Program Diploma
Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta LANTABOER 6 Agustus 2009. Jakarta: STIAS
LANTABOER.
Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, JE., Ford, L.J. and Johnson,
P.L.(1976). Values
Education Source Book. Colorado: Social Science
Education Consortium, Inc.
Zakaria, Teuku Ramli.(2004). Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan
Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta: Jurnal Balitbangda
Vessels, Gordon and Huitt, William. (2005). Moral and Character Development.
Presented at the National Youth at Risk Conference, Savannah, GA, March 8-10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar