Selasa, 23 Februari 2016

PKn PERSPEKTIF PENDIDIKAN NILAI
Dr. Sarbaini, M.Pd
Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
FKIP Universitas Lambung Mangkurat
sarbaini.ULM1959@gmail.com

A.      Latar Belakang Pendidikan Nilai
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu UU No.20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 2, Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3 UU SPN Tahun 2003).
Undang-undang tersebut memberikan landasan bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia, baik dalam hal akar pendidikan, maupun fungsi dan  tujuan pendidikan. Ketiga hal tersebut, yakni, akar, fungsi dan tujuan pendidikan hendaknya menyatu dalam suatu proses mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan kepribadian yang dicita-citakan. Proses pendidikan adalah proses untuk mengubah berbagai perilaku dan sikap-sikap (aspek-aspek kepribadian) peserta didik yang ditunjang tiga komponen utama, yaitu tujuan pendidikan, pengalaman belajar, dan prosedur evaluasi. Dengan demikian, proses pendidikan membina seluruh aspek-aspek kepribadian peserta didik, baik aspek perilaku maupun sikap secara kognitif, emosional, sosial dan motorik serta dapat mencapai hasil optimal, jika ditunjang dengan waktu, fasilitas, alat pendidikan serta fasilitas memadai, menuju sosok pribadi manusia yang diharapkan menurut tujuan pendidikan nasional.
Hal demikian mengisyaratkan keharusan untuk melaksanakan secara konsisten antara tujuan pendidikan nasional yang diharapkan dengan tujuan pendidikan yang dilakukan oleh praktisi di sekolah-sekolah. Sebagaimana Sauri (2009) tegaskan pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 mengisyaratkan bahwa praktek pendidikan di Indonesia diarahkan kepada upaya mengembangkan manusia utuh, manusia yang bukan hanya cerdas dari aspek kecakapan intelektual saja, melainkan juga kepribadian dan keterampilannya, atau dalam istilah lain sebagai insan yang cerdas otaknya, lembut hatinya dan terampil tangannya (head, heart, hand).
Di Indonesia sendiri, lahirnya pendidikan nilai akhir-akhir ini dibidani oleh kegagalan pola pendidikan modern yang tidak membawa kedamaian dan perbaikan terhadap peradaban manusia. Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific world view) selain mengakibatkan dampak positif (di bidang sain dan teknologi), juga mengakibatkan dampak negatif terhadap manusia. Dampak negatif tersebut menjalar juga terhadap bidang ilmiah dengan hebat, khususnya dalam bidang epistemologi. Hal itu berawal dari para pemikir raksasa yang mencoba mengubah peradaban manusia. Salah satunya, Rene Descartes (1650 M) sebagai icon Barat, yang menyandang gelar “bapak filsafat modern” dengan prinsip “Aku berfikir, maka Aku ada” (cogito ergo sum), berhasil menggiring peradaban manusia sebagai ‘pemuja’ rasio.  Pendidikan era modern tersebut, yang lebih menitikberatkan pada pendidikan bebas nilai (value free) telah memporak-porandakan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Perubahan masyarakat akibat perkembangan IPTEK membawa dampak yang besar pada budaya, nilai dan agama (Susanto, 1998). Derasnya gelombang globalisasi mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai dan terjadinya degradasi moral pada peserta didik. Keluarga dan sekolah akhir-akhir ini kebanyakan tidak dapat berperan sepenuhnya dalam pembinaan moral, sehingga pembinaan moral saat ini (di lembaga formal nonformal, dan informal) merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Jika pun pendidikan dikatakan sudah tidak bebas nilai, dan sudah menganut nilai tertentu, maka nilai yang menjadi orientasi utama dalam pendidikan adalah nilai ekonomis dan pragmatisme, karena diarahkan pada ajang pemenuhan tuntutan pasar semata, karena hal itu sebenarnya merupakan tuntutan kalangan kapitalis yang sarat dengan nilai pragmatisme dan ekonomis. Sehingga dalam dunia pendidikan dan masyarakat terjadi :
  1. Pergeseran sistem pendidikan Indonesia yang cenderung berorientasi pada pemenuhan kepentingan kalangan kapitalis, mengejar target indikator dengan standar keberhasilan pendidikan hanya menggunakan ukuran-ukuran formal yang bertumpu pada nilai akademik (UAN), rating sekolah dan fasilitas fisik berbasis teknologi (SBI, SSN). Semua tenaga dan waktu yang dimiliki sekolah dialokasikan hanya untuk memacu kemampuan kognitif siswa. Akibatnya fungsi-fungsi normatif pendidikan sebagai arena pembelajaran dan penyadaran siswa sebagai sosok pribadi manusia cenderung terabaikan. Sekolah sebagai institusi yang semestinya menanamkan nilai-nilai moral seperti kepatuhan, rasa toleransi, kebersamaan dan musyawarah kian memudar, berganti menjadi ajang kompetisi individualistis, bahkan menunjukkan ketidakpatuhan pada norma-norma yang menjadi akar pendidikan, yaitu nilai-nilai agama dan budaya.
  2. Perubahan sosial di masyarakat telah terjadi pergeseran nilai atau orientasi, serta format relasi, bahkan ditenggarai anomi. Hal ini tampak pada merasuknya teknologi yang mendorong masyarakat cenderung berpikir instan dan pragmatis, secara struktural telah mempengaruhi pola interaksi seseorang, termasuk peserta didik. Visualisasi media sebagai pentas realitas dan ekspresi identitas, terjerembab sebagai instrumen pengganda kultur kekerasan dan kebebasan untuk melanggar norma-norma luhur, yakni nilai-nilai agama dan budaya. Media yang terlalu banyak menampilkan tayangan-tayangan menjadi inspirasi dan tuntunan bagi remaja untuk mendapatkan citranya sebagai yang “tak terkalahkan”dan “boleh melanggar” norma apa saja.
  3. Sekarang ini sudah menggejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka mengabaikan nilai-nilai moral, bahkan tidak mematuhi tata krama pergaulan, yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab. Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya, yang menimbulkan keresahan pada masyarakat.

Padahal pendidikan juga merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik dalam membentuk watak dan kehidupan warga negara Indonesia yang potensial,  dan bangsa yang bermartabat dan beradab berlandaskan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk mewujudkan hal demikian, maka pada setiap jenjang persekolahan wajib dibina program yang harus memperhatikan dan berlandaskan 10 Nilai Luhur sebagai Moralitas/Keharusan (Djahiri, 2009), pengembangan kurikulum dilakukan hendaknya mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional di Indonesia. Salah satu program pendidikan yang peduli dengan pembentukan kepribadian manusia secara utuh dan menyeluruh adalah program Pendidikan Umum. 10 Nilai Luhur sebagai Moralitas/Keharusan itu terdapat dalam Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu Iman, Takwa, Akhlak Mulia, Sehat, Berilmu, Cakap, Kreatif, Mandiri, Demokratis dan Bertanggungjawab.
B.       Pendidikan Nilai
1.    Nilai
Dalam kajian filsafat, nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi. Cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19 (Frondizi, 2001). Semenjak zaman Yunani purba, para filosof telah menulis teori tentang problema nilai. Pada dasarnya dalam perspektif Islam,  pendidikan nilai lahir 14 abad yang silam, bersamaan dengan lahirnya Islam yang dibawakan oleh Rasulullah saw. Walaupun waktu itu namanya tidak populer dengan istilah ”nilai”.
Isu tentang nilai muncul kembali di panggung peradaban manusia pada masa perang dingin (1945-1989). Menurut Supriadi (Mulyana, 2004) selama perang dingin isu-isu tentang nilai, moral, etika, kehidupan, juga kelestarian lingkungan sangat menonjol. Pada era ini pula, studi tentang polemologi (yang mengkhususkan diri pada asal-usul hakekat) dan dimensi perdamaian serta cara-cara menciptakannya sangat populer. Orang pun menjadi sangat sensitif terhadap isu-isu apapun yang bermuatan nilai.
Nilai sering kali dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Contohnya seorang sosiolog mendefinisikan nilai sebagai suatu keinginan, kebutuhan, dan kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog akan menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada tahap wujud tingkah lakunya yang unik. Sedangkan seorang ekonom memandang nilai sebagai ‘harga”  suatu produk dan pelayanan yang dapat diandalkan untuk kesejahteraan manusia, Perbedaan perspektif ini tentu saja berimplikasi pada perumusan nilai (Baier,2003).
Nilai diuraikan dalam dua gagasan yang saling berseberangan. Di satu sisi, nilai dibicarakan sebagai nilai ekonomi yang disandarkan pada nilai produk, kesejahteraan dan harga, penghargaan tinggi yang bersifat material. Sisi lainnya, nilai digunakan untuk mewakili gagasan  atau makna abstrak dan sulit diukur, antara lain keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian, dan persamaan. ( UNESCO, 1993).
Kniker (1977), berpendapat bahwa nilai merupakan istilah yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Dalam gagasan pendidikan nilai, bahwa nilai selain ditempatkan sebagai inti dari proses dan tujuan pembelajaran, setiap huruf yang terkandung dalam kata value dirasionalisasikan sebagai tindakan pendidikan. Karena itu dalam pengembangan sejumlah strategi belajar nilai, ia selalu menampilkan lima tahapan penyadaran nilai sesuai dengan jumlah huruf yang terkandung dalan kata value, yakni :
ü  Value identification (identifikasi nilai). Pada tahapan ini, nilai yang menjadi target pembelajaran perlu diketahui oleh siswa
ü  Activity (kegiatan). Pada tahapan ini siswa dibimbing untuk melakukan tindakan yang diarahkan pada penyadaran nilai yang menjadi target pembelajaran
ü  Learning aids (alat bantu belajar), adalah benda-benda yang berfungsi sebagai alat bantu belajar yang dapat memperlancar proses belajar nilai, seperti cerita, film atau benda lain yang sesuai dengan topik nilai.
ü  Unit interaction (interaksi kesatuan). Tahapan ini melanjutkan tahapan kegiatan dengan semakin memperbanyak strategi atau cara yang dapat menyadarkan siswa terhadap nilai
ü  Evaluation segment (bagian evaluasi). Tahapan ini diperlukan untuk memeriksa kemajuan belajar nilai melalui penggunaan beragam teknik evaluasi nilai.
Rokeach (1973), nilai adalah suatu keyakinan abadi (an enduring belief) yang menjadi rujukan bagi cara bertingkah laku atau tujuan akhir eksistensi (mode of conduct or end-state of existence) yang merupakan preferensi tentang konsepsi yang lebih baik (conception of the preferable) atau konsepsi tentang segala sesuatu yang secara personal dan sosial dipandang lebih baik (that is personalyy or socially preferable).Keyakinan dalam konsep Rokeach, bukan hanya pemahaman dalam suatu skema konseptual, tapi juga predisposisi untuk bertingkahlaku yang sesuai dengan perasaaan terhadap obyek dari keyakinan tersebut. Karena itu, bagi Rokeach, nilai sebagai keyakinan memiliki aspek kognitif, afektif dan tingkah laku;
ü  Aspek kognitif nilai adalah mengenai tentang apa yang diinginkan, menjelaskan pengetahuan, opini dan pemikiran individu tentang apa yang diinginkan
ü  Aspek afektif nilai, individu atau kelompok memiliki emosi terhadap apa yang diinginkan, sehingga nilai menjelaskan perasaan individu atau kelompok terhadap apa yang diinginkan.
ü  Aspek psikomotor nilai, nilai merupakan elemen yang berpengaruh dalam mengarahkan tingkah laku yang ditampilkan.
Nilai baik sebagai keyakinan, ide, konsep, standar, prinsip maupun harga, sifatnya tersembunyi dan abstrak di belakang fakta. Orang ketika berbicara satu nilai, baru tahap konseptual, namun jika menampilkan perilaku (menilai,memutuskan, melakukan) maka telah melahirkan fakta nilai. Jadi nilai dapat diketahui melalui indikator atau instrument petunjuk nilai yang dianut seseorang atau kelompok. Indikator menunjukkan suatu nilai bersumber pada dari apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang. Apa yang dikatakan seseorang bisa member petunjuk mengenai apa nilai yang dianut atau diyakininya, kata-kata dapat muncul dalam berbagai bentuk (Fraenkel, 1977).
2.    Pendidikan Nilai
Pendidikan Nilai digunakan sebagai proses untuk membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis, sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berpikir dan perasaannya. Pendidikan nilai sangat diperlukan karena pemahaman terhadap suatu nilai tidak dapat dilakukan dengan akal budi, melainkan harus dengan hati nurani. (Tim Apnieve-Unesco, 1995). Pendidikan nilai adalah manifestasi dari non scholae sed vitae discimus. Pendidikan bukan non vitae sed scholae discimus (belajar bukan untuk kehidupan melainkan untuk sekolah). Pendidikan harus bercorak non scholae sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk kehidupan.
Menurut Rena (2006) Pendidikan Nilai tidak hanya sebagai hati dari pendidikan (heart of education), tetapi juga sebagai pendidikan hati (education of heart). Pendidikan Nilai adalah komponen yang diperlukan bagi pendidikan kewarganegaraan secara holistik. Karenanya mengajar nilai-nilai, tidak hanya mengajar bagaimana menilai, tapi juga bagaimana memberikan pengetahuan dalam tingkat pemahaman dan wawasan yang lebih dalam. Pengalaman belajar secara holistik bertujuan untuk melakukan internalisasi nilai-nilai oleh pembelajar dan menterjemahkannya ke dalam perilaku pembelajar. Internalisasi dan pewujudan nilai-nilai ke dalam perilaku pastilah berbasis fitrah dasar manusia yang menuju kepada pribadi manusia yang diharapkan. Hal demikian sejalan dengan pendapat Sauri (2009) bahwa Pendidikan Nilai dapat dimaknai sebagai upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam rangka mengembangkan fitrah dasar manusia secara utuh menuju terbentuknya insan berakhlakul karimah.
Secara tegas pelaksanaan PKn Perspektif Pendidikan Nilai di Indonesia adalah sebagai upaya penanaman dan pengembangan nilai pada diri pribadi, berupa pemberian bantuan agar peserta didik dapat menyadari dan mengalami nilai-nilai, serta agar mampu menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya, dalam menuju terbentuknya insan berakhlakul karimah. Pelaksanaan PKn perspektif Pendidikan Nilai di Indonesia demikian tentulah tidak terpisahkan dari visi Pendidikan Nilai yang sarat dengan muatan nilai, misi dan tujuan mengenai sosok pribadi manusia Indonesia yang utuh, padu dan menyeluruh
C.      Teori-Teori Pendidikan Nilai
Teori-teori yang dikemukakan di sini berkaitan dengan pendidikan nilai, khususnya peroleh nilai moral yang diterapkan untuk peserta didik sebagai calon warga negara yang baik. Teori-teori ini berbasis pada pandangan-pandangan psikologis, sosiologis, psiko-fisikologis moralitas, perkembangan moral, dan karakter moral yang dirujuk dari Vessel dan Huitts (2005), Downey dan Kelly (1982) dan Puente (1998)
1.    Teori  berbasis Eksternal/Sosial,  dianut  kalangan  behavioris dan   sosiolog.   Secara  umum memandang nilai dan moralitas adalah produk dari pengaruh eksternal dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi dan/atau transmisi peraturan-peraturan sosial dan norma-norma secara berturut-turut.  Kalangan behavioristik, khususnya kalangan operant conditioning, memandang semua perilaku, termasuk perilaku nilai moral adalah hasil aplikasi dari konsekuensi-konsekuensi lingkungan, dan fokus hanya pada perilaku. Proses-proses menalar, mempengaruhi, kemauan, dan internal lainnya adalah pikiran yang ditentukan oleh pengaruh-pengaruh lingkungan terhadap perilaku.
Para sosiolog menganggap bahwa individu sebagai kertas kosong, dan melihat moralitas serta karakter sebagai sesuatu yang sudah tertanam dalam masyarakat dan budaya, dengan lebih fokus pada nilai-nilai, adat-istiadat, norma-norma dan contoh-contoh moral dalam lingkungan. Di samping itu, para sosiolog juga memandang bahwa transmisi norma-norma moral dan harapan-harapan dilakukan dari satu generasi ke generasi berikutnya, melalui model dan penjelasan. Juga,  para sosiolog menekankan pentingnya lingkungan sosial dan sekolah sebagai keseluruhan yang berpengaruh kuat terhadap perilaku moral melalui norma-norma kelompok budaya dengan cara memberikan contoh-contoh spesifik dari perilaku moral, dan mempengaruhi pemikiran tentang peristiwa-peristiwa moral. Sekolah dilihat pula sebagai sistem sosial dengan model-model organisasi dan ideologinya mempunyai pengaruh moral melalui sosialisasi yang dilaksanakannya terhadap peserta didik dan kultur, selain meneruskan nilai-nilai, juga religi-religi adalah inti kekuatan kultural yang diakui dan didukung.
2.    Teori berbasis Internal/Psikologis, dianut kalangan nativis dan sosiobiologis yang secara umum fokus terhadap pengaruh-pengaruh genetik dan kematangan. Terdapat dua teori utama yang menekankan pada pengaruh genetik dan kematangan terhadap pembinaan karakter, yaitu; teori nativisme dan sosiobiologi.
Filosof nativisme percaya bahwa sifat dasar manusia secara esensial baik dan pengaruh-pengaruh sosial yang tidak sehat, sebaiknya tidak dibolehkan untuk merintangi perkembangan alami dari kecendrungan-kecendrungan anak untuk berpikir, merasa dan bertindak secara moral.
Kalangan sosiobiologis memandang bahwa pengertian terhadap benar dan salah adalah hasil dari evolusi biologis yang berinteraksi dengan kultural dan kebiasaan sosial. Teori fisiologi menitikberatkan pada pengolahan kognitif manusia yang dibawa sejak lahir dan menyatakan bahwa anak mengembangkan perasaan benar dan salah serta nilai-nilai moral melalui suatu analisis dari persaingan pilihan-pilihan. Kalangan ini mengusulkan untuk mengajar anak berpikir kritis tentang persaingan nilai-nilai dan pilihan-pilihan, serta mendukung anak butuh untuk diajar materi spesifik dari perilaku sebelum diajak berpikir kritis dan penalaran moral. Beberapa peneliti fokus pada emosi-emosi manusia yang dibawa sejak lahir sebagai fondasi untuk pembinaan karakter, dan telah mengidentifikasi beberapa emosi dasar yang memainkan peranan mendasar dalam moralitas, termasuk keharuan, perasaan bersalah, malu, simpati, dan khususnya empati sebaiknya dipertimbangkan sebagai emosi esensial untuk motivasi moral.
3.    Teori  berbasis Interaksional, dibagi  dalam  sub-sub  kategori  instinctual (psikoanalisis, psikososial, dan analisis sosial yang memandang sifat dasar manusia sebagai instinktual, belum berkembang, dan butuh kontrol atau sosialisasi), dan maturational (teori-teori perkembangan kognitif, afektif dan belajar sosial yang memandang sifat dasar manusia adalah baik).
Dari perspektif psikoanalisis mengemukakan sifat dasar manusia secara naluriah anti-sosial dan belum berkembang dan harus dibenahi dan disosialisasikan. Untuk memecahkan konflik antara norma-norma biologi dan sosial, individu harus belajar prinsip-prinsip moral, dan mengarahkan kehidupannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbasis alasan, sehingga  kepribadian dianggap sebagai produk perkembangan sosial dan emosional dengan tuntutan-tuntutan sosial sebagai rangkaian problem-problem yang mesti dipecahkan.
Aliran perkembangan kognitif berbasis karya Piaget dan Kohlberg, memandang semua anak cendrung ikut serta dalam berpikir, merasakan, memilih dan bertindak moral dan etis. Interaksi anak dengan lingkungan adalah berpengaruh kuat, namun berpikir adalah proses utama yang memungkinkan anak bergerak ke dunia moral. Kalangan teorisi kognitif-sosial secara umum fokus pada agen personal dan kebebasan untuk memilih, dan mengusulkan bahwa dengan kebebasan itu menghasilkan tanggungjawab untuk membuat keputusan-keputusan yang baik dan bertindak secara moral.
4.    Teori berbasis kepribadian/Identitas,  termasuk   teori-teori  yang   menemukan kebajikan berakar dalam kepribadian dan identitas pribadi. Pendukung teori ini melihat kebajikan sebagai paduan dari kecendrungan-kecendrungan alami, dan interaksi-interaksi dengan lingkungan yang mengikutsertakan refleksi dan komitmen terhadap terhadap nilai-nilai dan perilaku.  Seperti bangunan-bangunan kepribadian, kebajikan-kebajikan adalah cara-cara yang biasa dilakukan dalam berpikir, merasakan, melakukan dan tindakan yang mencerminkan karakter moral. Kalangan teori berbasis kepribadian menyarankan  (a) kebajikan-kebajikan adalah aspek dominan dari identitas moral; (b)  mengembangkan daftar kebajikan; dan (c) setiap bagian dari pendidikan mengembangkan daftar nilai-nilai, kebajikan-kebajikan, dan ciri-ciri karakter yang akan dilembagakan kepada sekolah-sekolah.
5.    Teori psikoanalitik, berpandangan bahwa sebagian besar tingkah laku manusia digerakkan  oleh daya-daya psikodinamik seperti motif, konflik dan kecemasan. Pendekatan ini merupakan kerja monumental Freud yang melihat moralitas sebagai konformitas terhadap standar-standar kultural melalui proses internalisasi. Pendekatan psikonalisis menekankan signifikansi dari pengalaman-pengalaman emosional lebih dini dalam membentuk superego suatu kesadaran.
6.    Teori behavioristik, menekankan pada proses belajar serta peranan lingkungan merupakan kondisi langsung belajar dalam menjelaskan tingkat laku. Lebih dikenal dengan teori belajar sosial, atau “observational learning” merupakan hasil dari kerja Sears, Bandura, Eysenck yang mengasumsikan bahwa perilaku moral adalah hasil dari meneladani anak untuk dirinya sendiri terhadap orang dewasa yang dikagumi. Teori-teori belajar sosial menitikberatkan terutama pada aspek belajar moral, yaitu pelatihan moral, kebiasaan-kebiasaan moral, efek-efek keteladanan, ganjaran dan hukuman terhadap perilaku anak. Inti pendekatan ini adalah bahwa perilaku seseorang diperoleh melalui proses peniruan perilaku orang lain. Individu meniru perilaku orang lain, karena konsekuensi yang diterima oleh orang lain yang menampilkan perilaku tersebut positif, dalam pandangan individu tadi. Jika kita ingin mensosialisasikan hidup secara teratur, maka caranya adalah memberikan contoh. Di samping itu, bisa juga menciptakan model yang layak untuk ditiru. Teori psikoanalitik dan teori belajar sosial memandang moralitas atau perilaku moral adalah konformitas terhadap berbagai bentuk norma kultural atau sosial.
7.    Teori perkembangan kognitif mengemukakan bahwa struktur kognitif mengalami perkembangan dan pengetahuan merupakan entry behavior yang dominan mempengaruhi.Teori ini hasil kerja Piaget dan Kohlberg, yang memandang perkembangan moral sebagai proses yang aktif, dinamis dan kontruktif mengarahkan kepada kondisi agar individu mampu bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang ia terima, sebab ia memahaminya dan sepakat dengannya atau melakukan untuk dirinya sendiri.
8.    Teori Romantis, dikemukakan J.J.Rousseau dalam bukunya Emil. Teori ini mengacu pada prinsip-prinsip perasaan dan kebebasan. Menurut teori ini, perkembangan integral dari individu secara fisik, intelektual dan emosional diterima sebagai tanggung jawab fundamental. Sekolah dan keluarga harus mendesain lingkungan yang memfasilitasi perkembangan dari semua potensi yang dimiliki sejak lahir oleh para pelajar.
Dari pandangan psikologis, teori romantis paralel dengan teori genetis-organis yang terutama diwakili oleh Freud. Teori psikologis memahami pikiran anak sebagai organisme biologis disiapkan untuk tumbuh, selama lingkungan mengembangkannya. Freud memandang perkembangan moral tumbuh dalam bentuk yang pararel dengan perkembangan fisik, dan merupakan rangkaian dari tahap-tahap yang berhubungan dengan perkembangan psiko-seksual. Tahap-tahap itu secara mendasar turun-menurun melalui beberapa faktor sosial yang dapat mendukung atau menunda perasaan mereka. Oleh karena itu, perkembangan moral tergantung pada evolusi natural dan spontan dari dorongan-dorongan dan emosi-emosi.
Kalangan sosiologis mengemukakan dari teori romantis muncul individualisme, yang menuntut bahwa moralitas tumbuh dari individu sebagai ekspresi dari tindakan personal. Individu secara kronologis dan moral diprioritaskan untuk masyarakat. Semua nilai-nilai diperoleh dari individu dan mereka mengekspresikan diri mereka sendiri dalam masyarakat yang dibentuk oleh individu-individu. Berbeda dengan teori individualistik lainnya, teori ini menganggap bahwa faktor kognitif tidak memainkan peranan fundamental dalam perkembangan norma moral dalam perkembangan pertimbangan moral.
9.    Teori Transmisi Kultural memahami pikiran sebagai “tabula rasa” yang menjadi tempat disimpannya  pengalaman-pengalaman dari lingkungan. Pikiran pada awalnya kosong dan pasif. Teori ini diinspirasi oleh paham hubungan dan prinsip-prinsip dari stimulus-respon, penguatan, hukuman, dan sebagainya. Locke, Watson, Thorndike, dan Skinner adalah tokoh yang amat relevan mewakili teori ini. Pandangan kognitif mengasumsikan bahwa konsep-konsep dan struktur-struktur adalah refleksi dari semua yang ada di luar dunia fisik dan sosial individu. Perkembangan individu terjadi melalui instruksi langsung atau imitasi terhadap model-model orang dewasa dengan menekankan pada perolehan pengetahuan, kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan. Perolehan dari perilaku moral ditentukan melalui prinsip-prinsip umum yang sama dari belajar. Menurut teori ini asal mula dari moralitas bukan individual, tetapi masyarakat.
Pendekatan masyarakat Durkheim memahami bahwa moralitas sebagai bentuk persoalan akomodasi dari individu terhadap nilai-nilai masyarakat melalui proses adaptasi dan internalisasi. Masyarakat adalah prioritas bagi individu, baik secara kronologis maupun moral. Masyarakat adalah sumber dari semua nilai-nilai yang dicerminkan oleh individu, maka perilaku moral individu ditentukan oleh peraturan-peraturan, dan dalam mengikuti peraturan-peraturan yang ditentukan oleh masyarakat, individu akan menjadi bermoral atau tidak bermoral adalah tergantung pada tingkat penerimaannya terhadap peraturan-peraturan itu. Dari perspektif ini, individu  harus dididik untuk disiplin dan berakar pada masyakat. Ketika dua aspek itu dengan kuat ditanamkan, individu-individu mampu tinggal di masyarakat, sebab mereka secara moral disiapkan untuk mematuhi dan menjalankan peraturan-peraturan. Moralitas bukan sistem dari adat-istiadat, tetapi sistem dari kewajiban-kewajiban. Jadi, moralitas diperlukan untuk mengembangkan pengertian manusia terhadap disiplin dan rasa hormat terhadap otoritas. Peraturan-peraturan secara sama-sama ditentukan untuk semua, dan mereka yang menjalankannya adalah untuk dipatuhi dan dihormati.
10.    Teori progresionist atau perkembangan kognitif adalah dialetika, karena menolak dikotomi antara faktor kematangan (bawaan) dan faktor lingkungan. Baik peran dalam definisi pribadi maupun fungsi dalam cara yang diucapkan; atau sebaliknya mungkin beberapa faktor yang memperlambat perkembangan kognitif dan moral. Kadang-kadang, faktor-faktor bawaan tertentu mulai konflik dengan faktor-faktor lingkungan, dan dari pemecahannya lebih memajukan fase-fase perkembangan dan lebih menumbuhkan kematangan perilaku-perilaku moral. Teori perkembangan kognitif berasal dari Plato, yang diberikan makna baru oleh Hegel dan terakhir digabungkan ke dalam pandangan secara psikologis oleh Dewey dan Piaget. Piaget dan Dewey menegaskan bahwa kematangan berpikir tidak tergantung pada faktor genetik atau sosial; tetapi ia adalah hasil dari reorganisasi struktur psikologis yang digerakkan dari interaksi antara organisme dan lingkungan.
D.      Pendekatan Pendidikan Nilai
Hersh, et. al. (1980), mengemukakah di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Sementara Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi ini menurut Rest (1992) didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi, dan Superka.et.al. (1976) mengutarakan lima pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
       1.  Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Adapun metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
  2. Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilema, baik dilema hipotetikal maupun dilema faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan keseharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik. Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya.
  3. Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan.
Terdapat dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional.
4.  Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Ketiga, membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat atau Melayani
Pendekatan pembelajaran berbuat atau melayani (service or action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atau pelayanan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Terdapat dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan dan pelayanan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus berpartisipasi sebagai kewajiban moral untuk mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi. Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama.
Di antara lima pendekatan di atas, pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan Pendidikan Nilai di Indonesia. Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai pendekatan indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal, namun berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah Pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk mendukung pandangan ini antara lain sebagai berikut.
1.        Tujuan Pendidikan Nilai adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia.
2.        Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak sebagai pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual; hak sebagai anak, disertai dengan kewajiban sebagai anak terhadap orang tua; hak sebagai pegawai negeri, disertai kewajiban sebagai pegawai negeri terhadap masyarakat dan negara; dan sebagainya. Dalam rangka Pendidikan Nilai, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya.
3.        Menurut konsep Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang melekat eksistensi kemanusiaannya itu. Hak dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka Pendidikan Nilai, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia.
Dalam pengajaran nilai di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan hal yang amat penting. Dalam hal ini berbeda dengan pendidikan moral dalam masyarakat liberal, yang hanya mementingkan proses atau keterampilan dalam membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut pandangan tersebut adalah suatu indoktrinasi, yang harus dijauhi. Anak harus diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri. Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, berzina, berjudi, adalah perhuatan tercela, yang harus dihindari; orang tua harus dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam pengajaran nilai faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-sama penting.
E.   Model-Model Pendidikan Nilai
Terdapat empat model pendidikan moral atau budi pekerti yang dapat digunakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu teknik pengungkapan nilai, analisis nilai, pengembangan kognitif moral, dan tindakan sosial (Hersh, 1980);
ü  Model pengungkapan nilai pada dasarnya berakar pada dialog yang tujuannya bukan untuk mengenalkan nilai tertentu kepada peserta didik, tetapi untuk membantu menggunakan dan menerapkan nilai dalam kehidupan.
ü  Model analisis nilai adalah model yang membantu peserta didik mempelajari pengambilan keputusan melalui proses langkah demi langkah dengan cara yang sangat sistematis. Model ini akan memberi makna bila dihadapkan pada upaya menangani isu-isu kebijakan yang kompleks.
ü  Pengembangan kognitif moral adalah model yang membantu peserta didik berpikir melalui pertentangan dengan cara yang lebih jelas dan menyeluruh melalui tahapan-tahapan umum dari pertimbangan moral.
ü  Tindakan sosial adalah model yang bertujuan meningkatkan keefektifan peserta didik mengungkap, meneliti, dan memecahkan masalah sosial. Terdapat empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam menggunakan model pendidikan moral, yaitu berfokus pada kehidupan, penerimaan akan sesuatu, memerlukan refleksi lebih lanjut, dan harus mengarah pada tujuan (Raths,at.al,1978).

SUMBER RUJUKAN

Baier, Kurt.(2003) dalam Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Downey, Mereil and  Kelly, A.V. (1982). Moral Education; Theory and Practice. London: Harper & Row, Publisher
Djahiri, Kosasih. (2009), Handbook Perkuliahan Metoda Analisis Nilai Moral. Bandung: SPS UPI Bandung.

Elias, J. L. 1989. Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.

Fraenkel, Jack.R. (1977). How to Teach About Values: An Analytic Approach. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Hersh, R.H., Miller, J.P. & Fielding, G.D. 1980. Model of Moral Education: an Appraisal. New York: Longman, Inc.

Kniker, Charles.R. (1977). You and Values Education. Columbus, Ohio: Charles E.Merrill Publishing Company.
Puente, Anibal. (1998). Structures of Cognitive and Moral Development. (Online). Tersedia: http://www.crvp.org/book/Series05/V-4/contents.htm.[5 Oktober 2009].

Raths, Louis.E.,Harmin, Merril and Simon, Sidney.(1978). Values and Teaching; Working with Values in the Classroom. Second Edition.  Sydney: Charless E.Merrill Publishing Company.

Rena, Ravinder. (2006). Value-based Education for Human Development. Mai Nefhi Asmara, Eritrea : Eritrean Perspective Eritrea Institute of Technology.


Rest,J.R.(1992). Komponen-komponen Utama Moralitas. dalam Kurtines, W.M. & Gerwitz, J.L. (pnyt.). Moralitas, Perilaku Moral, dan Perkembangan Moral. Terj. Soelaeman, M.I. & Dahlan, M.D. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Rokeach, M. (1973). The Nature of Human Values. New York: The Free Press

Sauri (2009). Menuju Tenaga Kependidikan Profesional. Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana Strata Satu dan Program Diploma Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta LANTABOER 6 Agustus 2009. Jakarta: STIAS LANTABOER.

Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, JE., Ford, L.J. and Johnson, P.L.(1976). Values Education Source Book. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc.

Zakaria, Teuku Ramli.(2004). Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta: Jurnal Balitbangda
Vessels, Gordon and Huitt, William. (2005). Moral and Character Development. Presented at the National Youth at Risk Conference, Savannah, GA, March 8-10.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar