Selasa, 16 Februari 2016

IMPLEMENTASI PANCASILA: REJUVENASI, REVITALISASI, REFUNGSIONALISASI DAN REAKTUALISASI

IMPLEMENTASI PANCASILA:
REJUVENASI, REVITALISASI, REFUNGSIONALISASI DAN REAKTUALISASI
Dr. Sarbaini, M.Pd
sarbainiunlambjm1959@gmail
Kepala Pusat Pengembangan MKU
Lembaga Pengembangan dan Peningkatan Pembelajaran (LP3_
Universitas Lambung Mangkurat


RASIONAL
Eksistensi unsur dari sila-sila Pancasila telah ada dalam masyarakat prasejarah berdasarkan analisa terhadap pertumbuhan alam kehidupan manusia Indonesia dari sudut historis, sosio-kultural, antropologi, religius, dan geografis (Ismaun, 1981; Latif, 2011; Stephen Oppenheimer (2004,2010; Soetardjo Kartohadikoesomo (1954:77-94; Malaka, 2005). Pancasila adalah warisan yang dipuji oleh berbagai tokoh dunia, bahkan menurut Mark Juergensmeyer (Azra, 2010) rahmat terselubung bagi bangsa Indonesia, sebab Pancasila adalah religiously friendly ideology yang membuat tidak ada alasan yang valid, untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Pancasila selalu muncul menjadi alternatif penyelamat bangsa yang berada dalam masa kritis (misalnya Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, Dekrit Presiden 5 Juli 1959), karena Pancasila memiliki fungsi integratif yang menjamin kesatuan  negara-bangsa Indonesia yang pluralistik. Pancasila telah terbukti sebagai garis haluan bersama ideologis negara-bangsa Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa datang (Azra, 2010).

KONDISI
Jika kita secara objektif mengamati kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka terdapat suasana yang berbeda antara zaman Orde Baru dengan zaman Reformasi. Jika pada zaman Orde Baru hampir semuanya, kalau tidak seluruhnya segala sesuatu serba Pancasila. Namun yang terjadinya sebaliknya, di zaman reformasi, kita menyaksikan hampir semuanya, bila tidak semuanya, apapun tidak Pancasila.
Pancasila, karena kesalahan praktik pemerintahan Orde Baru, yang menjadikannya sebagai mesin indoktrinasi politik, Pancasila dianggap apak-basi. Kelima sila dengan intinya dasarnya kemanusiaan, yang mengerucut pada sila pertama Ketuhanan YME, itu tidak dianggap relevan, tidak hanya tidak dihayati, dihapalkan anak sekolahpun tidak, apalagi dipraktikan dalam praksis kehidupan (Sularto, 2010).
Sampai sekarang belum terlihat jelas upaya mewujudkan nilai-nilai Pancasila secara sungguh-sungguh. Jangankan dilaksanakan dengan sepenuh hati, keinginan membicarakannya saja, cendrung ogah-ogahan, setengah hati. Bilapun ada, karena ada anggaran yang memang diperuntukan untuk itu, hanya sebatas proyek, bukan gerakan. Pancasila terkesan seperti ditelantarkan, bahkan wacana tentang Pancasila pun melemah, tidak ada yang perduli, jika Pancasila diganggu oleh ideologi lain. Pancasila alhamdulillah masih bertahan di dalam Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, namun sanggupkah menghadapi pengikisan dan penggerusan sila-sila Pancasila yang diajarkan di segala lini kehidupan? Meskipun seringkali, para pendidik Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan menjadi kambing hitam dari segala kebobrokan moral bangsa ini
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila adalah “roh, dasar dan tujuan” bagi keempat sila lainnya, baik dalam konteks ketauhidan individu maupun kesalehan sosial, yang hasilnya bermuara pada keadilan sosial. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar penghayatan dan pengamalan Pancasila, tampaknya masih belum dihayati benar oleh masyarakat pemeluk agama dan aparat pemerintahan sendiri, belum terjadi tranformasi nilai-nilai. Buktinya dalam kehidupan masih terdapat perilaku kekerasan atas nama agama, memuliakan agama daripada Tuhan,tindakan secara sepihak melakukan pemaksaan dan memaksakan kebenaran agama menurut pahamnya kepada pihak lain, kesalehan hanya terhenti pada acara ritual-formalistik, tidak berdampak pada kehidupan sosial kemasyarakatan, juga dalam praksis aparat pemerintahan.
Namun yang paling miris bagi sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basis “tauhid” dan sumber bagi perapan sila-silal lainnya bergeser menjadi “Keuangan Yang Maha Kuasa” sebagai “tauhid materialisme” dalam berbagai aspek kehidupan. Tauhid materialisme lahir karena prinsip-prinsip neoliberalisme yang diterapkan oleh pemerintah dalam sistem ekonomi, yang membuahkan anak-pinak dampaknya dalam sistem-sistem kehidupan lainnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sila kedua, menghendaki manusia berlaku adil dan beradab, mulai robek di sana-sini.  Di dalam kehidupan sekarang, kita dipertontonkan kekerasan demi kekerasan, terutama dari massmedia dan dunia maya. Kekerasan politik, vertikal dan horisontal secara privat maupun publik menjadi hal-hal yang biasa dilihat dan disaksikan, seperti pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, merampas hak-hak sipil, politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, parodi kesenjangan sosial ekonomi, istilah “kamu” dan “kami: menggeser “kita”, gaya hidup “eksklusivisme”. Ini  manifestasi produk dari kekerasan kultural, karena melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak. Fenomena “asap” mungkinkah merupakan manifestasi kekerasan kultural? Masyarakat kehilangan hak hidup karena kerusakan sosial-ekologis dan perampasan sumber daya, korupsi yang merajalela, bahkan persengkongkolan penguasa dan pengusaha korup menjadi asal muasal kemelaratan rakyat. Korupsi kemanusiaan atau  Kemanusiaan yang terkorupsi? Sehingga berani melanggar peraturan yang dibuat sendiri, atau peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, kesemrawutan lalulintas adalah salah satu buktinya. Semuanya keamburadulan manusia ini karena “tauhidnya” adalah Keuangan Yang Maha Kuasa”
Persatuan Indonesia, adalah esensi Pancasila dan utuhnya negara-bangsa Indonesia ini. Berbagai upaya dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini untuk memperkuat persatuan bangsa. Wawasan Nusantara, Satelit Palapa, Manunggal ABRI-Rakyat, Bela Negara, merupakan gagasan dan tindakan untuk memperkuat persatuan Indonesia. Sama halnya dengan sila yang lain, maka persatuan bangsa akan terganggu, sejumlah sengketa hukum kasus kehutanan, pertambangan nampakya perlu ditangani secara adil dan tegas. Era otonomi daerah telah mengeliminasi disintegrasi, namun dampak lainnya adalah korupsi yang merajalela di tingkat daerah, penyalahgunaan wewenang terjadi di mana-mana, elite bermain, rakyat yang menjadi korban. Kondisi ini dapat dilihat di daerah perdesaan, terjauh dan di perbatasan, khususnya kesejahteraan rakyat.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan perwakilan. Demokrasi berbasis pada hikmat dan musyawarah. Namun di zaman reformasi, bangsa Indonesia sedang menjalankan demokrasi tanpa nilai-nilai yang menjadi acuan, permusyarawatan menjadi hilang,  belajar atau bereksperimen dengan demokrasi ? melalui atau mewujud menjadi demokrasi transaksional. Ekses paling nyata dari menguatnya peranan partai politik dan parlemen pascareformasi adalah indikasi adanya permusyawaratan transaksional (usulan-usulan anggaran kontroversial). Selain itu Partai politik menjadi penyewa perahu bagi kandidat untuk maju dalam pilkada; dan itu uang. Kandidat harus membayar konsultan politik untuk memoles citra dan itu berarti uang, untuk pemilih pun harus diberi uang. Bagi pemilih, jika tidak memberi uang, maka kandidat tidak akan dipilih. Kapital menjadi salah satu faktor penting, akankah politik dikuasai kelompok berkapital besar, sementara kita tidak tahu dari mana kapital itu asal-muasalnya. “Keuangan Yang Maha Kuasa”
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesial, adalah hilir dari pengamalan sila-sila yang dimulai dari sila Ketuhanan, sila Kemanusiaan, sila Persatuan, dan Kerakyatan. Sila keadilan adalah kualitas dari semua pengalaman sila-sila lainnya. Jika hulu utama dari Pancasila, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa benar-benar dijadikan landasan “tauhid individu” dan “kesalehan sosial”, maka akan membuahkan manusia yang adil dan beradab, memperkuat persatuan,  dan mengutamakan hikmat dan permusyawaratan, akhirnya mewujud pada keadilan sosial. Akan tetapi bila “Keuangan Yang Maha Kuasa” menjadi azas “tauhid individu”, maka yang terwujud adalah “keserakahan sosial”, menjadi manusia yang zalim dan rakus, merobek persatuan, dan menunggangi kerakyatan untuk kepenting pribadi dan kelompok, dan ketidakadilan dalam semua lini kehidupan.
Problematik lain adalah sejak tahun 2003, yaitu berdasarkan UU SPN, mata pelajaran Pendidikan Pancasila di sekolah dan mata kuliah Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, justru ditiadakan. Peniadaan demikian seakan-akan “mengusir” Pendidikan Pancasila dari kurikulum pendidikan nasional (Winarno, 2010), dampaknya mahasiswa dan peserta didik tidak mendapatkan pengetahuan tentang Pancasila, apalagi untuk menghayati dan mengamalkannya. Meskipun demikian materi tentang Pancasila ditampung dalam Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi substansi dan tujuan kajian Pancasila sebagai materi perlu dikembangkan menjadi pengembang karakter keindonesiaan yang berbasis nilai-nilai Pancasila. Ironisnya substansi dan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang mengembangkan karakter keIndonesiaan berbasis nilai-nilai Pancasila selalu bertentangan dengan nilai-nilai real di masyarakat.
Kondisi implementasi Pancasila menunjukkan bahwa Indonesia dihadapkan pada pilihan-pilihan ideologis yang kabur (Bambang Setiawan, 2010). Meski berhasil menumbangkan tatanan lama, masa sesudah Orde Baru menjadi periode suram bagi imajinasi kenegaraan. Selain puas dengan ritual demokrasi, nyaris tidak ada arah yang jelas ke mana bangsa ini akan melangkah. Ideologi menjadi bagian yang makin terpinggirkan, baik dalam konstelasi politik maupun hidup keseharian bangsa. Jikapun ada, hanya ideologi “Keuangan Yang Maha Kuasa”, bukan Pancasila dengan rohnya Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan karena ideologi tidak penting, masalahnya (mungkin) lebih karena tidak ada integritas yang memadai dari pemimpin nasional untuk merumuskan tantangan yang tepat dan mengembangka ideologi yang menyatukan bangsa (Bambang Setiawan, 2010). Hasil Litbang Kompas (2010) menunjukkan bagaimana pendapat masyarakat terhadap pemimpin dalam menentukan arah negara dan keseriusan menerapkan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
1.    Menurut anda, semakin jelas atau tidak jelaskah pemimpin-pemimpin negeri ini dalam menentukan arah negara Indonesia? (dalam persen)
Pilihan
2008
2009
2010
Makin jelas
18,9
44,9
30,6
Makin tidak jelas
75,3
43,8
59,6
Tidak Tahu/Tidak Jawab
5,8
11,3
9,8

2.    Menurut anda, serius atau tidak seriuskah pemerintah saat ini menerapkan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia? (dalam persen)
Pilihan
2006
2008
2009
2010
Serius
44,7
34,9
50,7
46,7
Tidak Serius
49,6
60,6
42,5
45,6
Tidak tahu/tidak jawab
5,7
4,5
6,8
7,7

Kedua hasil pengumpulan pendapat di atas menunjukkan bagaimana kondisi implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terlihat ketidakjelasan arah dan keseriusan pemimpin dan pemerintah, karena mayoritas responden (59,6%) menilai pemimpin-pemimpin negeri ini semaakin tidak jelas dalam menentukan arah negara Indonesia. Kalau yang jelas adalah musim hujan kebanjiran, sementara musim kemarau, kekeringan, kebakaran dan asap yang dinikmati rakyat setiap tahunnya. Demikian juga, hampir seimbang antara responden yang menyatakan serius (46,7% ) dan tidak serius (45,6%) pemerintah dalam menerapkan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Belum sepenuhnya menunjukkan keseriusan pemerintah.

REKOMENDASI

Rekomendasi yang diberikan tentang implementasi Pancasila telah berkali-kali dilontarkan oleh para ahli, seperti Azra (2010) berupa rejuvenasi dan revitalisasi. Setelah bertahun-tahun beliau berikan, implementasi tetap belum memenuhi harapan, rekomendasi demikian telah dipublikasikan sejak 2004.
Rejuvenasi dapat dimulai dengan kembali, yakni menjadikan Pancasila sebagai diskursus, menjadi wacana publik. Seperti yang pernah dilakukan Prof.Mubyarto dengan ide Ekonomi Pancasila, atau diskursus lain Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Pancasila, Filsafat Pendidikan Pancasila, atau Desa Pancasila. Menjadikan implementasi Pancasila sebagai wacana publik, menurut Azra (2010) sekaligus dapat melakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru.
Tahap ini menurut Azra (2010) merupakan tahap awal krusial untuk revitalisasi Pancasila sebagai ideologi terbuka yang dapat dimaknai secara terus menerus, sehingga tetap relevan dan fungsional bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam dimensi vertikal dan horisontal. Implementasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya berwujud dalam bentuk ritual-formalistik tetapi diaktualisasikan dalam bentuk kesalehan sosial, yang mewabahkan kepedulian dan tanggungjawab sosial kepada lingkungan sosial, alam dan pekerjaan yang meninggikan martabat kemanusiaan bagi diri pribadi, masyarakat dan lingkungan (baiman, bauntung dan batuah), sehingga mengeliminasi “Keuangan Yang Maha Kuasa” yang memerosotkaan harkat kemanusiaan. Bagaimana menjadikan Pancasila itu benar-benar ada (reaktualisasi) di setiap kehidupan,  khususnya pembuat Undang-Undang, diharapkan pembuat undang-undang berpegang teguh pada nilai dan prinsip Pancasila.
Refungsionaliasi Pancasila menurut Muhammadiyah (2015) adalah menempatkan kembali fungsi Pancasila pada tempat semestinya, yakni sebagai falsafah kebangsaan yang luhur, merupakan hasil konsensus nasional dan tempat pembuktian atau kesaksian ( darul ahdi wa darusy syahadah), untuk menjaadi negeri yang aman dan damai (darussalam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat dan berdaulah dalam naungan ridha Allah Semata. Pancasila tidak dicintai secara berlebihan, tidak menjadi bahan indoktrinasi, bukan milik golongan tertentu, bukan hasil galian seseorang, dan bukan pemilik tafsir tertentu, sehingga mensakralkan Pancasila, tetapi moral illiteracy. Terakhir Pancasila bukan hanya menjadi lip service, hipokritas dan jargon, tetapi minus implementasi.
Implementasi Pancasila hendaknya berwujud gerakan revolusi mental maupun karakter yang masif dan mampu menggerakkan seluruh lapisan masyarakat untuk memasyarakatkan kembali nilai dan prinsip Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan dalam semua lini kehidupan. Gerakan memasyarakatkan Pancasila layak dilanjutkan dengan model dan metode pembelajaran nilai yang menumbuhkembangkan karakter berbasis nilai dan prinsip Pancasila. Gerakan Revolusi Mental maupun Karakter  hendaknya menjadikan “arus utama” perubahan mental maupun karakter manusia Indonesia yang berlandaskan nilai dan prinsip Pancasila, dan menjadi “arus utama” bagi setiap pembuatan undang-undang yang berlaku untuk setiap instansi pemerintah, satuan pendidikan, organisasi masyarakat, dan swasta. Revolusi mental (Semiarto Aji Purwanto, 2014) adalah
1.    Upaya untuk mengubah kebiasaan dan kerangka pemikiran sehari-hari masyarakat yang berdampak luas bagi publik.
2.    Proses menghasilka manusia merdeka, bagaimana mendidik manusia yang mengerti dirinya, mengerti keindonesiaannya
3.    Transformasi pengertian dan pemahaman mengenai politik dari isu kekuasaan menjadi pelayanan publik.
4.    Perubahan pikir para penguasa menyangkut orientasi politik, perubaahan sikap pejabat publik dan politik partisan.
5.    Tidak hanya pola pikiran, namun juga perubahan struktural dalam interaksi sosial yang dominan di masyarakat, yaitu komunikasi, hubungan kekuasaan dan moralitas.
6.    Pengembangan sikap anti kepada hal-hal yang negatif.
Implementasi Pancasila hendaknya juga mampu melakukan revolusi mental dan menjadi “arus utama” yang menuntut perubahan pada dua tatanan sosial politik, yaitu pada para pejabat (pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan semua yang terkait dengan posisi pemerintahan), dan rakyat sebagai warga negara. Bagaimana karakter penguasa menjadi pemimpin yang rekam-jejaknya memiliki moralitas yang baik. pelindung dan pelayan publik yang cakap dan santun, dan bagaimana rakyat dapat menjadi warga negara yang terlindungi, terjamin hak-haknya, merasakan kehadiran negara di sisina, dan secara aktif dan partisipatif bertanggungjawab pada lingkungannya.
Implementasi Pancasila hendaknya juga merupakan proses pembudayaan nilai dan prinsip Pancasila, yang mampu mengubah cara berpikir dan cara bertindak maanusia Indonesia yang lebih baik dari era sebelumnya. Untuk itu diperlukan gerakan yang memperkuat pengetahuan, penghayatan dan pembudayaan nilai dan prinsip Pancasila, dan tidak melakukan pembiaran terhadap perilaku yang bertentangan dengan Pancasila, namun perlakuan yang tegas diterapkan kepada mental, karakter dan perilaku individual. Korupsi adalah perbuatan yang salah bertentangan dengan nilai dan prinsip Pancasila, tetapi dengan segala justifikasi perilaku itu tetap dilakukan, sama halnya dengan ketidakjujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional, yakni menyontek.
Implementasi Pancasila hendaknya sejalan dengan perhatian yang kuat terhadap Pendidikan Kewarganegaraan baik sebagai citizenship education di masyarakat, maupun civic education di perguruan tinggi dan persekolahan, sehingga mampu membentuk karakter warga negara yang baik, aktif, partisipatif dan bertanggungjawab terhadap lingkungannya. Khusus untuk kepentingan civic education, kiranya perlu dilakukan pembinaan yang lebih intens terhadap matakuliah dan matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang mampu menjadi tenaga pendorong bagi keberhasilan implementasi Pancasila sekaligus revolusi karakter yang sesuai dengan nilai dan prinsip Pancasila di perguruan tinggi dan sekolah. Kerjasama antara MPR, Perguruan Tinggi, dan Sekolah perlu ditingkatkan lagi, tidak hanya sekedar lomba, diskusi, tetapi juga kepada gerakan-gerakan pelayanan masyarakat (service learning).
Akhirnya implementasi Pancasila adalah membangun mental, karakter dan perilaku bangsa berdasarkan nilai dan prinsip Pancasila sebagai insan cerdas komprehensif, kompetetif, unggul namun berkarakter Pancasila. Guna meenuju Indonesia Emas, maka generasi kini dan mendatang memerlukan garis dan arah kebijakan nasional yang kuat, untuk mengangkat mereka dari keterpurukan, dan membangun martabatnya berlandaskan amanat konstitusi dan Pancasila sebagai dasar negara. Semoga!

Sumber Rujukan :

Azyumardi Azra. 2010. Revisitasi Pancasila, dalam Mulyawan Karim (ed) .2010. Rindu Pancasila. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Ismaun.1981. Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia. Bandung: Carya Remaja

Oetojo Oesman (ed).1992. Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta; BP7 Pusat.

Semiarto.2014. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan

St. Sularto.2010. Kesalehan Sosial Bangkrut, dalam Mulyawan Karim (ed).2010. Rindu Pancasila. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Syahrial Syarbaini.2009. Implementasi Pancasila melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Graha Ilmu

Suara Muhammadiyah, Pancasila dan Muhammadiyah. Edisi No.20. TH ke-100 16-31 Oktober 2015

Winarno.2010. Implementasi Pancasila melalui Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Makalah Seminar Internasional di Universitas Sultan Idris (UPSI) dengan tema Pengalaman Indonesia dan Malaysia dalam hal Pembinaan warga negara yang cerdas dan bak, tanggal 13 April 2010.

Yudi Latif. 2011. Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.




Dr.H. Sarbaini, M.Pd,  Lektor Kepala pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). S1 (Drs) di Jurusan PMP-KN FKIP UNLAM (1984), Magister Pendidikan IKIP Bandung (1993), Doktor Pendidikan UPI Bandung (2011), keduanya berbasis kajian Pendidikan Umum/Nilai. Sejak tahun 1986 menjadi pengajar di Program Studi PPKn, mengajar matakuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di PTS-PTS Banjarmasin (STIKIP PGT, UVAYA, STIE, STIKES Muhammadiyah, Politekes Banjarmasin, Akademi Kebidanan Bunga Kalimantan, dan STIKES Cahaya Bangsa. Pengajar Pascasarjana Program Studi PIPS UNLAM dan STIA Banjarmasin. Pelaku sejarah dan pelibat Pusat Studi Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian UNLAM bersama alm Prof.Dr.Noerid H.Radam, Ketua Program Studi PPKN FKIP UNLAM (2000-2004). Konsultan LPMP (2002-2004), Ketua UPT MKU UNLAM (2006-2015), Ketua Pusat Pengembangan MKDU (2015-sekarang). Tim Pokja PUG Bidang Pendidikan Dinas Pendidikan Prov. Kalsel (2007-2010),  Tim Pokja Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Non Formal (2007-2010), Tutor UT UBJJ Banjarmasin (2007-sekarang), anggota Forum Peneliti Balitbangda Kalsel (2008-2010), Tim Jaringan Penelitian Balitbangda Kalsel (2008-sekarang), Tim Jaringan Penelitian Kabupaten Tanah Laut (2013-sekarang), Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalsel (2005-2015), Assesor Sertifikasi Guru, Penelaah Jurnal Wiramartas, Jurnal Sosial Pendidikan IPS (2003-sekarang), Reviewer Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNLAM (2015-sekarang), Penyunting Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Program Studi PPKn (2010-sekarang), Ketua Unit Micorteaching FKIP UNLAM (2012-sekarang), narasumber berbagai kegiatan seminar, workshop, pelatihan dan bintek dalam bidang Pendidikan, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Kebudayaan dan Gender. Menulis beberapa artikel di Vidya Karya, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Wiramartas, dan Jurnal Triwulana LITBANG Bappeda Kalsel. Penulis buku Model Pembelajaran Kognitif Moral, dari Teori ke Implementasi (2011), buku Pembinaan Nilai, Moral dan Karakter Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma Ketertiban di Sekolah (2012), buku Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Membina Karakter Warga Negara yang Baik (2013), modul Negara Hukum dan Demokrasi (2013), buku “Good Practices” Pendidikan Karakter Kepatuhan di Sekolah (2014); Editor buku Masalah Hukum dan Politik (2000), buku Membangun Karakter Kemanusiaan, Membentuk Kepribadian Bangsa, melalui Pendidikan (2015); Penerjemah buku Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai; Sebuah Pendekatan Analitik (2012); Ketua Penyusun, Panduan Kurikulum MKU (MPK-MBB) UNLAM (2012), Pedoman Pendidikan Karakter WASAKA UNLAM (2012), Standar Kompetensi Dosen MKU (MPK-MBB) UNLAM (2012); Anggota tim penulis Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (2012); Kontributor tulisan buku proceding Seminar Nasional Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila dan Implementasi Kurikulum PKN 2013 (2013), buku proceding Seminar Internasional Dimens-dimensi Praktik Pendidikan Karakter (2012), buku Proceding Seminar Nasional Pendidikan Karakter (2014), buku proceding Seminar Internasional Building Nation Character Through Education (2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar