IMPLEMENTASI PANCASILA:
REJUVENASI, REVITALISASI,
REFUNGSIONALISASI DAN REAKTUALISASI
Dr. Sarbaini, M.Pd
sarbainiunlambjm1959@gmail
Kepala Pusat Pengembangan MKU
Lembaga Pengembangan dan Peningkatan Pembelajaran
(LP3_
Universitas Lambung Mangkurat
RASIONAL
Eksistensi unsur dari sila-sila Pancasila telah
ada dalam masyarakat prasejarah berdasarkan analisa terhadap pertumbuhan alam
kehidupan manusia Indonesia dari sudut historis, sosio-kultural, antropologi,
religius, dan geografis (Ismaun, 1981; Latif, 2011; Stephen Oppenheimer
(2004,2010; Soetardjo Kartohadikoesomo (1954:77-94; Malaka, 2005). Pancasila
adalah warisan yang dipuji oleh berbagai tokoh dunia, bahkan menurut Mark
Juergensmeyer (Azra, 2010) rahmat terselubung bagi bangsa Indonesia, sebab
Pancasila adalah religiously friendly
ideology yang membuat tidak ada alasan yang valid, untuk mengganti
Pancasila dengan ideologi lain. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Pancasila
selalu muncul menjadi alternatif penyelamat bangsa yang berada dalam masa
kritis (misalnya Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, Dekrit Presiden 5 Juli
1959), karena Pancasila memiliki fungsi integratif yang menjamin kesatuan negara-bangsa Indonesia yang pluralistik.
Pancasila telah terbukti sebagai garis haluan bersama ideologis negara-bangsa
Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa
hari ini dan di masa datang (Azra, 2010).
KONDISI
Jika kita secara objektif mengamati
kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka terdapat
suasana yang berbeda antara zaman Orde Baru dengan zaman Reformasi. Jika pada
zaman Orde Baru hampir semuanya, kalau tidak seluruhnya segala sesuatu serba
Pancasila. Namun yang terjadinya sebaliknya, di zaman reformasi, kita
menyaksikan hampir semuanya, bila tidak semuanya, apapun tidak Pancasila.
Pancasila, karena kesalahan praktik
pemerintahan Orde Baru, yang menjadikannya sebagai mesin indoktrinasi politik,
Pancasila dianggap apak-basi. Kelima sila dengan intinya dasarnya kemanusiaan,
yang mengerucut pada sila pertama Ketuhanan YME, itu tidak dianggap relevan,
tidak hanya tidak dihayati, dihapalkan anak sekolahpun tidak, apalagi
dipraktikan dalam praksis kehidupan (Sularto, 2010).
Sampai sekarang belum terlihat jelas
upaya mewujudkan nilai-nilai Pancasila secara sungguh-sungguh. Jangankan
dilaksanakan dengan sepenuh hati, keinginan membicarakannya saja, cendrung
ogah-ogahan, setengah hati. Bilapun ada, karena ada anggaran yang memang
diperuntukan untuk itu, hanya sebatas proyek, bukan gerakan. Pancasila terkesan
seperti ditelantarkan, bahkan wacana tentang Pancasila pun melemah, tidak ada
yang perduli, jika Pancasila diganggu oleh ideologi lain. Pancasila
alhamdulillah masih bertahan di dalam Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan, namun sanggupkah menghadapi pengikisan dan penggerusan
sila-sila Pancasila yang diajarkan di segala lini kehidupan? Meskipun
seringkali, para pendidik Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan menjadi
kambing hitam dari segala kebobrokan moral bangsa ini
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila
pertama Pancasila adalah “roh, dasar dan tujuan” bagi keempat sila lainnya,
baik dalam konteks ketauhidan individu maupun kesalehan sosial, yang hasilnya
bermuara pada keadilan sosial. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar
penghayatan dan pengamalan Pancasila, tampaknya masih belum dihayati benar oleh
masyarakat pemeluk agama dan aparat pemerintahan sendiri, belum terjadi
tranformasi nilai-nilai. Buktinya dalam kehidupan masih terdapat perilaku
kekerasan atas nama agama, memuliakan agama daripada Tuhan,tindakan secara
sepihak melakukan pemaksaan dan memaksakan kebenaran agama menurut pahamnya
kepada pihak lain, kesalehan hanya terhenti pada acara ritual-formalistik,
tidak berdampak pada kehidupan sosial kemasyarakatan, juga dalam praksis aparat
pemerintahan.
Namun yang paling miris bagi sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basis “tauhid” dan sumber bagi perapan
sila-silal lainnya bergeser menjadi “Keuangan Yang Maha Kuasa” sebagai “tauhid
materialisme” dalam berbagai aspek kehidupan. Tauhid materialisme lahir karena
prinsip-prinsip neoliberalisme yang diterapkan oleh pemerintah dalam sistem
ekonomi, yang membuahkan anak-pinak dampaknya dalam sistem-sistem kehidupan
lainnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
sebagai sila kedua, menghendaki manusia berlaku adil dan beradab, mulai robek
di sana-sini. Di dalam kehidupan sekarang,
kita dipertontonkan kekerasan demi kekerasan, terutama dari massmedia dan dunia
maya. Kekerasan politik, vertikal dan horisontal secara privat maupun publik
menjadi hal-hal yang biasa dilihat dan disaksikan, seperti pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan, merampas hak-hak sipil, politik, hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, parodi kesenjangan sosial ekonomi, istilah “kamu”
dan “kami: menggeser “kita”, gaya hidup “eksklusivisme”. Ini manifestasi produk dari kekerasan kultural,
karena melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak. Fenomena “asap” mungkinkah
merupakan manifestasi kekerasan kultural? Masyarakat kehilangan hak hidup
karena kerusakan sosial-ekologis dan perampasan sumber daya, korupsi yang
merajalela, bahkan persengkongkolan penguasa dan pengusaha korup menjadi asal
muasal kemelaratan rakyat. Korupsi kemanusiaan atau Kemanusiaan yang terkorupsi? Sehingga berani
melanggar peraturan yang dibuat sendiri, atau peraturan yang dibuat oleh pihak
yang berwenang, kesemrawutan lalulintas adalah salah satu buktinya. Semuanya
keamburadulan manusia ini karena “tauhidnya” adalah Keuangan Yang Maha Kuasa”
Persatuan Indonesia, adalah esensi
Pancasila dan utuhnya negara-bangsa Indonesia ini. Berbagai upaya dilakukan
oleh para pemimpin bangsa ini untuk memperkuat persatuan bangsa. Wawasan
Nusantara, Satelit Palapa, Manunggal ABRI-Rakyat, Bela Negara, merupakan
gagasan dan tindakan untuk memperkuat persatuan Indonesia. Sama halnya dengan
sila yang lain, maka persatuan bangsa akan terganggu, sejumlah sengketa hukum
kasus kehutanan, pertambangan nampakya perlu ditangani secara adil dan tegas. Era
otonomi daerah telah mengeliminasi disintegrasi, namun dampak lainnya adalah
korupsi yang merajalela di tingkat daerah, penyalahgunaan wewenang terjadi di
mana-mana, elite bermain, rakyat yang menjadi korban. Kondisi ini dapat dilihat
di daerah perdesaan, terjauh dan di perbatasan, khususnya kesejahteraan rakyat.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Demokrasi berbasis pada hikmat dan musyawarah. Namun di zaman
reformasi, bangsa Indonesia sedang menjalankan demokrasi tanpa nilai-nilai yang
menjadi acuan, permusyarawatan menjadi hilang, belajar atau bereksperimen dengan demokrasi ? melalui
atau mewujud menjadi demokrasi transaksional. Ekses paling nyata dari
menguatnya peranan partai politik dan parlemen pascareformasi adalah indikasi
adanya permusyawaratan transaksional (usulan-usulan anggaran kontroversial). Selain
itu Partai politik menjadi penyewa perahu bagi kandidat untuk maju dalam
pilkada; dan itu uang. Kandidat harus membayar konsultan politik untuk memoles
citra dan itu berarti uang, untuk pemilih pun harus diberi uang. Bagi pemilih,
jika tidak memberi uang, maka kandidat tidak akan dipilih. Kapital menjadi
salah satu faktor penting, akankah politik dikuasai kelompok berkapital besar,
sementara kita tidak tahu dari mana kapital itu asal-muasalnya. “Keuangan Yang
Maha Kuasa”
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesial, adalah hilir dari pengamalan sila-sila yang dimulai dari sila
Ketuhanan, sila Kemanusiaan, sila Persatuan, dan Kerakyatan. Sila keadilan
adalah kualitas dari semua pengalaman sila-sila lainnya. Jika hulu utama dari
Pancasila, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa benar-benar dijadikan landasan “tauhid
individu” dan “kesalehan sosial”, maka akan membuahkan manusia yang adil dan
beradab, memperkuat persatuan, dan
mengutamakan hikmat dan permusyawaratan, akhirnya mewujud pada keadilan sosial.
Akan tetapi bila “Keuangan Yang Maha Kuasa” menjadi azas “tauhid individu”,
maka yang terwujud adalah “keserakahan sosial”, menjadi manusia yang zalim dan
rakus, merobek persatuan, dan menunggangi kerakyatan untuk kepenting pribadi
dan kelompok, dan ketidakadilan dalam semua lini kehidupan.
Problematik lain adalah sejak tahun
2003, yaitu berdasarkan UU SPN, mata pelajaran Pendidikan Pancasila di sekolah
dan mata kuliah Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, justru ditiadakan.
Peniadaan demikian seakan-akan “mengusir” Pendidikan Pancasila dari kurikulum
pendidikan nasional (Winarno, 2010), dampaknya mahasiswa dan peserta didik
tidak mendapatkan pengetahuan tentang Pancasila, apalagi untuk menghayati dan
mengamalkannya. Meskipun demikian materi tentang Pancasila ditampung dalam
Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi substansi dan tujuan kajian Pancasila
sebagai materi perlu dikembangkan menjadi pengembang karakter keindonesiaan
yang berbasis nilai-nilai Pancasila. Ironisnya substansi dan tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan yang mengembangkan karakter keIndonesiaan berbasis nilai-nilai
Pancasila selalu bertentangan dengan nilai-nilai real di masyarakat.
Kondisi implementasi Pancasila
menunjukkan bahwa Indonesia dihadapkan pada pilihan-pilihan ideologis yang
kabur (Bambang Setiawan, 2010). Meski berhasil menumbangkan tatanan lama, masa
sesudah Orde Baru menjadi periode suram bagi imajinasi kenegaraan. Selain puas
dengan ritual demokrasi, nyaris tidak ada arah yang jelas ke mana bangsa ini
akan melangkah. Ideologi menjadi bagian yang makin terpinggirkan, baik dalam
konstelasi politik maupun hidup keseharian bangsa. Jikapun ada, hanya ideologi
“Keuangan Yang Maha Kuasa”, bukan Pancasila dengan rohnya Ketuhanan Yang Maha
Esa. Bukan karena ideologi tidak penting, masalahnya (mungkin) lebih karena
tidak ada integritas yang memadai dari pemimpin nasional untuk merumuskan
tantangan yang tepat dan mengembangka ideologi yang menyatukan bangsa (Bambang
Setiawan, 2010). Hasil Litbang Kompas (2010) menunjukkan bagaimana pendapat
masyarakat terhadap pemimpin dalam menentukan arah negara dan keseriusan
menerapkan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Menurut
anda, semakin jelas atau tidak jelaskah pemimpin-pemimpin negeri ini dalam
menentukan arah negara Indonesia? (dalam persen)
Pilihan
|
2008
|
2009
|
2010
|
Makin jelas
|
18,9
|
44,9
|
30,6
|
Makin tidak jelas
|
75,3
|
43,8
|
59,6
|
Tidak Tahu/Tidak Jawab
|
5,8
|
11,3
|
9,8
|
2. Menurut
anda, serius atau tidak seriuskah pemerintah saat ini menerapkan Pancasila
dalam kehidupan masyarakat Indonesia? (dalam persen)
Pilihan
|
2006
|
2008
|
2009
|
2010
|
Serius
|
44,7
|
34,9
|
50,7
|
46,7
|
Tidak Serius
|
49,6
|
60,6
|
42,5
|
45,6
|
Tidak tahu/tidak jawab
|
5,7
|
4,5
|
6,8
|
7,7
|
Kedua hasil pengumpulan pendapat di atas
menunjukkan bagaimana kondisi implementasi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terlihat ketidakjelasan arah dan
keseriusan pemimpin dan pemerintah, karena mayoritas responden (59,6%) menilai
pemimpin-pemimpin negeri ini semaakin tidak jelas dalam menentukan arah negara
Indonesia. Kalau yang jelas adalah musim hujan kebanjiran, sementara musim
kemarau, kekeringan, kebakaran dan asap yang dinikmati rakyat setiap tahunnya.
Demikian juga, hampir seimbang antara responden yang menyatakan serius (46,7% )
dan tidak serius (45,6%) pemerintah dalam menerapkan Pancasila dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Belum sepenuhnya menunjukkan keseriusan pemerintah.
REKOMENDASI
Rekomendasi yang diberikan tentang
implementasi Pancasila telah berkali-kali dilontarkan oleh para ahli, seperti
Azra (2010) berupa rejuvenasi dan revitalisasi. Setelah bertahun-tahun beliau
berikan, implementasi tetap belum memenuhi harapan, rekomendasi demikian telah
dipublikasikan sejak 2004.
Rejuvenasi dapat dimulai dengan kembali,
yakni menjadikan Pancasila sebagai diskursus, menjadi wacana publik. Seperti
yang pernah dilakukan Prof.Mubyarto dengan ide Ekonomi Pancasila, atau
diskursus lain Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Pancasila, Filsafat Pendidikan
Pancasila, atau Desa Pancasila. Menjadikan implementasi Pancasila sebagai
wacana publik, menurut Azra (2010) sekaligus dapat melakukan reassessment,
penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila, untuk kemudian menghasilkan
pemikiran dan pemaknaan baru.
Tahap ini menurut Azra (2010) merupakan
tahap awal krusial untuk revitalisasi Pancasila sebagai ideologi terbuka yang
dapat dimaknai secara terus menerus, sehingga tetap relevan dan fungsional bagi
kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Reaktualisasi nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam dimensi vertikal
dan horisontal. Implementasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya berwujud
dalam bentuk ritual-formalistik tetapi diaktualisasikan dalam bentuk kesalehan
sosial, yang mewabahkan kepedulian dan tanggungjawab sosial kepada lingkungan
sosial, alam dan pekerjaan yang meninggikan martabat kemanusiaan bagi diri
pribadi, masyarakat dan lingkungan (baiman,
bauntung dan batuah), sehingga mengeliminasi “Keuangan Yang Maha Kuasa”
yang memerosotkaan harkat kemanusiaan. Bagaimana menjadikan Pancasila itu
benar-benar ada (reaktualisasi) di setiap kehidupan, khususnya pembuat Undang-Undang, diharapkan
pembuat undang-undang berpegang teguh pada nilai dan prinsip Pancasila.
Refungsionaliasi Pancasila menurut
Muhammadiyah (2015) adalah menempatkan kembali fungsi Pancasila pada tempat
semestinya, yakni sebagai falsafah kebangsaan yang luhur, merupakan hasil
konsensus nasional dan tempat pembuktian atau kesaksian ( darul ahdi wa darusy
syahadah), untuk menjaadi negeri yang aman dan damai (darussalam) menuju
kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat dan berdaulah dalam naungan
ridha Allah Semata. Pancasila tidak dicintai secara berlebihan, tidak menjadi
bahan indoktrinasi, bukan milik golongan tertentu, bukan hasil galian
seseorang, dan bukan pemilik tafsir tertentu, sehingga mensakralkan Pancasila,
tetapi moral illiteracy. Terakhir Pancasila bukan hanya menjadi lip service,
hipokritas dan jargon, tetapi minus implementasi.
Implementasi Pancasila hendaknya
berwujud gerakan revolusi mental maupun karakter yang masif dan mampu
menggerakkan seluruh lapisan masyarakat untuk memasyarakatkan kembali nilai dan
prinsip Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan dalam semua lini kehidupan.
Gerakan memasyarakatkan Pancasila layak dilanjutkan dengan model dan metode pembelajaran
nilai yang menumbuhkembangkan karakter berbasis nilai dan prinsip Pancasila.
Gerakan Revolusi Mental maupun Karakter hendaknya menjadikan “arus utama” perubahan mental
maupun karakter manusia Indonesia yang berlandaskan nilai dan prinsip Pancasila,
dan menjadi “arus utama” bagi setiap pembuatan undang-undang yang berlaku untuk
setiap instansi pemerintah, satuan pendidikan, organisasi masyarakat, dan
swasta. Revolusi mental (Semiarto Aji Purwanto, 2014) adalah
1. Upaya
untuk mengubah kebiasaan dan kerangka pemikiran sehari-hari masyarakat yang
berdampak luas bagi publik.
2. Proses
menghasilka manusia merdeka, bagaimana mendidik manusia yang mengerti dirinya,
mengerti keindonesiaannya
3. Transformasi
pengertian dan pemahaman mengenai politik dari isu kekuasaan menjadi pelayanan
publik.
4. Perubahan
pikir para penguasa menyangkut orientasi politik, perubaahan sikap pejabat
publik dan politik partisan.
5. Tidak
hanya pola pikiran, namun juga perubahan struktural dalam interaksi sosial yang
dominan di masyarakat, yaitu komunikasi, hubungan kekuasaan dan moralitas.
6. Pengembangan
sikap anti kepada hal-hal yang negatif.
Implementasi Pancasila hendaknya juga
mampu melakukan revolusi mental dan menjadi “arus utama” yang menuntut
perubahan pada dua tatanan sosial politik, yaitu pada para pejabat (pembuat
kebijakan, pelaksana kebijakan, dan semua yang terkait dengan posisi
pemerintahan), dan rakyat sebagai warga negara. Bagaimana karakter penguasa
menjadi pemimpin yang rekam-jejaknya memiliki moralitas yang baik. pelindung dan
pelayan publik yang cakap dan santun, dan bagaimana rakyat dapat menjadi warga
negara yang terlindungi, terjamin hak-haknya, merasakan kehadiran negara di
sisina, dan secara aktif dan partisipatif bertanggungjawab pada lingkungannya.
Implementasi Pancasila hendaknya juga
merupakan proses pembudayaan nilai dan prinsip Pancasila, yang mampu mengubah
cara berpikir dan cara bertindak maanusia Indonesia yang lebih baik dari era
sebelumnya. Untuk itu diperlukan gerakan yang memperkuat pengetahuan, penghayatan
dan pembudayaan nilai dan prinsip Pancasila, dan tidak melakukan pembiaran
terhadap perilaku yang bertentangan dengan Pancasila, namun perlakuan yang
tegas diterapkan kepada mental, karakter dan perilaku individual. Korupsi
adalah perbuatan yang salah bertentangan dengan nilai dan prinsip Pancasila,
tetapi dengan segala justifikasi perilaku itu tetap dilakukan, sama halnya
dengan ketidakjujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional, yakni menyontek.
Implementasi Pancasila hendaknya sejalan
dengan perhatian yang kuat terhadap Pendidikan Kewarganegaraan baik sebagai citizenship education di masyarakat, maupun
civic education di perguruan tinggi dan persekolahan, sehingga mampu membentuk
karakter warga negara yang baik, aktif, partisipatif dan bertanggungjawab terhadap
lingkungannya. Khusus untuk kepentingan civic education, kiranya perlu
dilakukan pembinaan yang lebih intens terhadap matakuliah dan matapelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan yang mampu menjadi tenaga pendorong bagi
keberhasilan implementasi Pancasila sekaligus revolusi karakter yang sesuai
dengan nilai dan prinsip Pancasila di perguruan tinggi dan sekolah. Kerjasama
antara MPR, Perguruan Tinggi, dan Sekolah perlu ditingkatkan lagi, tidak hanya
sekedar lomba, diskusi, tetapi juga kepada gerakan-gerakan pelayanan masyarakat
(service learning).
Akhirnya implementasi Pancasila adalah
membangun mental, karakter dan perilaku bangsa berdasarkan nilai dan prinsip
Pancasila sebagai insan cerdas komprehensif, kompetetif, unggul namun
berkarakter Pancasila. Guna meenuju Indonesia Emas, maka generasi kini dan
mendatang memerlukan garis dan arah kebijakan nasional yang kuat, untuk
mengangkat mereka dari keterpurukan, dan membangun martabatnya berlandaskan
amanat konstitusi dan Pancasila sebagai dasar negara. Semoga!
Sumber Rujukan :
Azyumardi
Azra. 2010. Revisitasi Pancasila, dalam Mulyawan Karim (ed) .2010. Rindu Pancasila. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara
Ismaun.1981.
Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa
Indonesia. Bandung: Carya Remaja
Oetojo
Oesman (ed).1992. Pancasila sebagai
Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
Jakarta; BP7 Pusat.
Semiarto.2014.
Revolusi Mental sebagai Strategi
Kebudayaan. Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan
St.
Sularto.2010. Kesalehan Sosial Bangkrut, dalam Mulyawan Karim (ed).2010. Rindu Pancasila. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara
Syahrial
Syarbaini.2009. Implementasi Pancasila
melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Graha Ilmu
Suara
Muhammadiyah, Pancasila dan Muhammadiyah. Edisi No.20. TH ke-100 16-31 Oktober
2015
Winarno.2010.
Implementasi Pancasila melalui Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education). Makalah Seminar Internasional di
Universitas Sultan Idris (UPSI) dengan tema Pengalaman Indonesia dan Malaysia
dalam hal Pembinaan warga negara yang cerdas dan bak, tanggal 13 April 2010.
Yudi
Latif. 2011. Negara Paripurna.
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Dr.H. Sarbaini,
M.Pd, Lektor Kepala pada Program Studi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Jurusan Pendidikan IPS FKIP
Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). S1 (Drs) di Jurusan PMP-KN FKIP UNLAM
(1984), Magister Pendidikan IKIP Bandung (1993), Doktor Pendidikan UPI Bandung
(2011), keduanya berbasis kajian Pendidikan Umum/Nilai. Sejak tahun 1986
menjadi pengajar di Program Studi PPKn, mengajar matakuliah Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di PTS-PTS Banjarmasin (STIKIP PGT,
UVAYA, STIE, STIKES Muhammadiyah, Politekes Banjarmasin, Akademi Kebidanan
Bunga Kalimantan, dan STIKES Cahaya Bangsa. Pengajar Pascasarjana Program Studi
PIPS UNLAM dan STIA Banjarmasin. Pelaku sejarah dan pelibat Pusat Studi
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian UNLAM bersama alm
Prof.Dr.Noerid H.Radam, Ketua Program Studi PPKN FKIP UNLAM (2000-2004).
Konsultan LPMP (2002-2004), Ketua UPT MKU UNLAM (2006-2015), Ketua Pusat
Pengembangan MKDU (2015-sekarang). Tim Pokja PUG Bidang Pendidikan Dinas
Pendidikan Prov. Kalsel (2007-2010), Tim
Pokja Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Non Formal
(2007-2010), Tutor UT UBJJ Banjarmasin (2007-sekarang), anggota Forum Peneliti
Balitbangda Kalsel (2008-2010), Tim Jaringan Penelitian Balitbangda Kalsel
(2008-sekarang), Tim Jaringan Penelitian Kabupaten Tanah Laut (2013-sekarang),
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalsel (2005-2015), Assesor Sertifikasi Guru,
Penelaah Jurnal Wiramartas, Jurnal Sosial Pendidikan IPS (2003-sekarang), Reviewer
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNLAM (2015-sekarang), Penyunting
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Program Studi PPKn (2010-sekarang), Ketua
Unit Micorteaching FKIP UNLAM (2012-sekarang), narasumber berbagai kegiatan
seminar, workshop, pelatihan dan bintek dalam bidang Pendidikan, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Kebudayaan dan Gender. Menulis beberapa artikel
di Vidya Karya, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Wiramartas, dan Jurnal
Triwulana LITBANG Bappeda Kalsel. Penulis
buku Model Pembelajaran Kognitif Moral, dari Teori ke Implementasi (2011), buku
Pembinaan Nilai, Moral dan Karakter Kepatuhan Peserta Didik Terhadap Norma
Ketertiban di Sekolah (2012), buku Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan
Tinggi, Membina Karakter Warga Negara yang Baik (2013), modul Negara Hukum dan
Demokrasi (2013), buku “Good Practices” Pendidikan Karakter Kepatuhan di
Sekolah (2014); Editor buku Masalah
Hukum dan Politik (2000), buku Membangun Karakter Kemanusiaan, Membentuk
Kepribadian Bangsa, melalui Pendidikan (2015); Penerjemah buku Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai; Sebuah
Pendekatan Analitik (2012); Ketua
Penyusun, Panduan Kurikulum MKU (MPK-MBB) UNLAM (2012), Pedoman Pendidikan
Karakter WASAKA UNLAM (2012), Standar Kompetensi Dosen MKU (MPK-MBB) UNLAM
(2012); Anggota tim penulis Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (2012); Kontributor
tulisan buku proceding Seminar Nasional Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila
dan Implementasi Kurikulum PKN 2013 (2013), buku proceding Seminar
Internasional Dimens-dimensi Praktik Pendidikan Karakter (2012), buku Proceding
Seminar Nasional Pendidikan Karakter (2014), buku proceding Seminar
Internasional Building Nation Character Through Education (2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar