Selasa, 16 Februari 2016

Dari Wasaka (Waja Sampai Kaputing) Menuju Taluba (Baiman, Bauntung dan Batuah); Konseptualisasi Nilai-nilai Luhur Suku Banjar Sebagai Sosok Karakter Harapan ‘Urang Banua’ Perspektif Etnopedagogi

Dari Wasaka (Waja Sampai Kaputing) Menuju Taluba (Baiman, Bauntung dan Batuah); Konseptualisasi Nilai-nilai Luhur Suku Banjar Sebagai Sosok Karakter Harapan
‘Urang Banua’ Perspektif Etnopedagogi[1]

Oleh : Dr. Sarbaini, M.Pd[2]
sarbainiunlambjm1959@gmail.com



Abstrak

Pada suatu bangsa maupun suku, selalu terdapat nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dan harapan demi terbentuknya sosok manusia ideal. Nilai-nilai luhur tersebut dapat digali dalam budaya suatu suku. Untuk suku Banjar, atau urang Banua di Kalsel sudah mafhum dengan istilah Waja Sampai Kaputing, yang menjadi motto Pemerintah Propinsi Kalsel dan UNLAM, namun motto WASAKA, sebagai nilai-nilai hanya menggambarkan proses bekerja dalam mencapai tujuan, pantang menyerah, keras keras. Jika di era Pangeran Antasari, WASAKA berarti menuju kemerdekaan sebagai manusia baik secara individu, kemasyarakatan, kebudayaan dan kenegaraan. Tapi WASAKA dalam konteks pendidikan, kemasyaratan dan kebudayaan, menuju ke SOSOK URANG BANUA yangdiharapkan sesai kultur nilai suku Banjar.

Kata-kata kunci: etnopedagogi, wasaka, taluba.


Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia, tidak bisa lepas dari nilai-nilai. Di mana ada kehidupan manusia, di situ sarat dengan muatan nilai-nilai. Nilai-nilai dapat dilihat dari perspektif sosiologis, antropologis, politis dan ekonomis. Pada setiap bangsa, masyarakat, suku dan keluarga ditemui beragam nilai-moral-norma. Lazim setiap nilai-nilai bersumber pada agama, budaya, hukum, ilmu, dan metafisis yang bersumber dari bangsa, masyarakat, suku dan keluarga yang bersangkutan. Karena itu, untuk Indonesia khususnya, dalam kehidupan manusianya, eksistensi nilai-nilai yang dianut dan diyakini, tidak selalu berpijak pada nilai-nilai melulu hanya pada rasionalitas, yang mengacu kepada prinsip-prinsip logika, ilmu dan ilmiah. Tetapi pada masyarakat tertentu, nilai-nilai juga bersumber pada agama, budaya, hukum dan metafisis masih dominan dianut.  Idealnya basis nilai-nilai dalam hidup adalah agama, berikut kebudayaan, hukum dan ilmu serta metafisis.


Pada suatu bangsa maupun suku, selalu terdapat nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dan harapan demi terbentuknya sosok manusia ideal. Nilai-nilai luhur tersebut dapat digali dalam budaya suatu suku. Untuk suku Banjar, atau urang Banua di Kalsel sudah mafhum dengan istilah WASAKA, Waja Sampai Kaputing, yang menjadi motto Pemerintah Propinsi Kalsel dan UNLAM, namun dalam pemikiran kami, motto WASAKA, sebagai nilai-nilai hanya menggambarkan proses bekerja dalam mencapai tujuan, pantang menyerah, keras keras, dalas hangit, atau mengutip perkataan Pangeran Antarasari, " Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing". Jika di era Pangeran Antasari, maka makna WASAKA berarti menuju kemerdekaan sebagai manusia baik secara individu, kemasyarakatan, kebudayaan dan kenegaraan. Tapi WASAKA dalam konteks pendidikan, kemasyaratan dan kebudayaan, menuju ke SOSOK URANG BANUA yang bagaimana?

Di dalam kehidupan masyarakat Banjar, terutama di daerah perdesaan yang masih kental budaya Banjar, pada saat ditanyakan kepada orang tua dari suku Banjar, doa apakah yang dipanjatkan kepada Allah SWT, oleh orang tua kepada anaknya, maka doa yang dipanjatkan biasanya adalah "Mudahan anakku menjadi orang yang Baiman, Bauntung dan Batuah, panjang umur, murah rezeki, hidup beserta iman dan mati beserta iman". Doa tersebut, biasanya muncul pada saat seorang ibu, mendoakan kepada anak-anaknya, atau seorang nini (nenek) kepada cucunya.

Doa dengan ucapan " Mudahan Baiman, Bauntung dan Batuah" selama ini hanya terbatas sebagai doa yang meluncur dari hati seorang ibu kepada anaknya, atau nenek mendoakan kepada cucunya, saat mendendangkan untuk tidur di ayunan, maupun meninabobokan di tempat tidur. Kosa kata "Baiman, Bauntung dan Batuah" jika digali lebih dalam merupakan salah bentuk dari kearifan lokal dalam pendidikan anak. Dalam ilmu pendidikan sekarang lebih dikenal dengan etnopedagogi.

Makalah ini mencoba melakukan kajian awal dari perspektif etnopedagogi terhadap makna dari WASAKA dan TALUBA sebagai khasanah kearifan lokal masyarakat, khususnya orang tua suku Banjar dalam mendidik karakter anak menjadi sosok manusia harapan di masa depan.

Pembahasan

1. Etnopedagogi

Krisis multidimensi di Indonesia satu dekade terakhir yang memerlukan pemecahan berbasis bukti (evidence-based) terutama dari disiplin ilmu humaniora, termasuk pendidikan dan pengajaran, melatarbelakangi muculnya ide Etnopedagogi. Ide tentang etnopedagogi di Indonesia muncul di kampus UPI melalui pemikiran Alwasilah,et.al (2009) dan Kartadinata (2010). Istilah etnopedagogi di UPI menurut Suratno (2010) dapat dipandang sebagai suatu pesan terkait dengan dengan istilah budaya-karakter (aspek etno), dan pendidikan keguruan (aspek pedagogi).


Alwasilah, et.al (2009) mengemukakan dalam konteks budaya secara umum, etnopedagogi menaruh perhatian khusus terhadap local genius dan local wisdom dengan mengungkap nilai-nilai budaya Sunda sebagai model awal. Dalam perspektif hakikat pendidikan, baik Alwasilah et al. (2009) maupun Sunaryo (2010) memandang bahwa pendidikan tidak terlepas dari aspek sosial dan kultural. Pendidikan bersifat deliberatif dalam arti masyarakat mentransmisikan dan mengabadikan gagasan kehidupan yang baik yang berasal dari kepercayaan masyarakat yang fundamental mengenai hakikat dunia, pengetahuan dan tata nilai (Alwasilah et al., 2009, p16). Oleh karena itu, diperlukan reorientasi landasan ilmiah mengenai pendidikan yang hirau terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sesuatu yang selama ini luput dari perhatian dikarenakan kurangnya studi tentang landasan budaya pendidikan. Keutamaan pendidikan hendaknya jangan sampai tereduksi menjadi hal-hal yang superficial, sebagaimana terjadi kini pada rezim standarisasi, sehingga mengabaikan tujuan luhur dari pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan yang membudayakan (Suratno, 2010).

Berdasarkan analisis terhadap dimensi budaya dan pendidikan, Alwasilah et al. (2009, Suratno,2010) memandang Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat, yakni kearifan lokal tersebut terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan. Dalam hal ini, kearifan lokal memiliki ciri (Suratno, 2010); berdasarkan pengalaman; 2) teruji setelah digunakan berabad-abad; 3) dapat diadaptasikan dengan kultur kini; 4) padu dengan praktik keseharian masyarakat dan lembaga; 5) lazim dilakukan oleh individu maupun masyarakat; 6) bersifat dinamis; dan 7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan.


2. WASAKA (Waja Sampai Kaputing)

Waja Sampai Kaputing (Wasaka) adalah Motto dari Universitas Lambung Mangkurat, bahkan digunakan juga sebagai Motto dari Kalimantan Selatan. Motto ini merupakan semboyan dan pesan-pesan yang pernah dikemukakan oleh Pangeran Antasari dalam perjuangannya melawan penjajah. Berikut semboyan dan pesan-pesan yang disampaikan oleh Pangeran Antasari.



Pesan-Pesan Pangeran Antasari

Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing

Lamun Tanah Banyu Kita
Kahada Handak Dilincai Urang
Jangan Bacakut Papadaan Kita


Lamun Handak Tulak Manyarang Walanda
Baikat Hati Ditali Sindad
Jangan Sampai Mati Parahatan Bukah
Matilah Kita Di jalan Allah

Siapa Babaik-baik Lawan Walanda
Tujuh Turunan Kahada Aku Sapa
Lamun Kita Sudah Sapakat
Handak Mahinyik Walanda
Jangan Walanda Dibari Muha

Badalas Pagat Urat Gulu
Lamun Manyarah Kahada

Haram Dijamah Walanda
Haram Diriku Dipenjara
Haram Negri Dijajah
Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing

Waja Sampai Kaputing berarti usaha sampai akhir (Volharding). Makna lain dari Wasaka adalah terbuat dari baja mulai pangkal sampai ke ujungnya, maksudnya perjuangan yang tak pernah berhenti hingga tetes darah penghabisan, atau hingga perjuangan tercapai. Waja Sampai Kaputing mengandung maksud apabila memulai suatu pekerjaan, harus sampai selesai pelaksanaannya. Setiap orang bertanggung jawab untuk menuntaskan pekerjaannya jangan sampai menggantung. Semboyan Wasaka ini merupakan lambang bahwa penduduk Kalimantan Selatan selalu tekun dalam bekerja, melaksanakan segala sesuatu dengan penuh ikhlas, rasa kesanggupan dan konsekuen tanpa berhenti di tengah jalan, harus sampai pada tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu selalu dilandasi oleh tekad yang kuat dan tangguh, bagaikan baja (waja) dari titik awal (ujung) sampai ke titik tujuan (kaputing), dan haram berhenti di tengah jalan (haram manyarah).
Semboyan dan pesan-pesan Waja Sampai Kaputing dari Pangeran Antasari hendaknya menjadi nilai inti (core value) ataupun “ruh” dari pendidikan karakter Universitas Lambung Mangkurat, yang tidak akan berhenti sampai tujuan tercapai, dengan dilandasi oleh nilai ikhlas, kerja keras, bekerja sampai tuntas,  semangat kebangsaan, cinta tanah air dan memperoleh yang memuaskan bagi untuk diri pribadi maupun masyarakat.

Nilai-nilai Sasaran yang menjadi target dari pendidikan karakter Wasaka adalah bersumber pada nilai-nilai yang terdapat dalam Wasaka itu sendiri dan nilai minimal yang hendaknya diterapkan menurut Desain Inti Pendidikan Karakter. Adapun nilai-nilai yang terdapat dalam motto Waja Sampai Kaputing, antara lain adalah nilai-nilai religius, ikhlas, kerja keras, tangguh, tekun, bertanggung jawab, dan konsekuen. Sementara nilai-nilai minimal yang hendaknya ditanamkan dalam pendidikan karakter adalah tangguh, jujur, cerdas dan peduli. Di samping itu dari Seminar dan Lokakarya Pendidikan Karakter yang dilaksanakan Universitas Lambung Mangkurat (2012), maka diperoleh beberapa nilai yang layak dijadikan nilai-nilai target pendidikan karakter, berdasarkan frekuensi yang kemunculan pilihan yang disampaikan peserta seminar dan lokakarya diperoleh nilai-nilai jujur, transparan, disiplin, cerdas, mandiri, peduli, profesional, tangguh, taat/patuh, kerja keras dan tekun.

Dari nilai-nilai Waja Sampai Kaputing, Nilai Minimal dari Desain Inti Pendidikan Karakter dan hasil Seminar dan Lokakarya Pendidikan Karakter Universitas Lambung Mangkurat dipilihnya 13 nilai-nilai sasaran yang akan menjadi target pendidikan karakter Wasaka Universitas Lambung Mangkurat :

Tabel 1. Nilai-Nilai Sasaran yang Menjadi Target Pendidikan Karakter Wasaka
NILAI-NILAI TARGET
DESKRIPSI
1.     Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain
2.     Ikhlas
Sikap dan perilaku yang memulai segala pekerjaan dimulai dengan atas nama Allah, Tuhan Yang Maha Esa, segala rezeki, karunia, rahmat adalah atas ijin Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Kerjakan tugas dan kewajiban, serahkan semua urusan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa
3.     Kerja Keras
Sikap dan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya sampai ke batas optimal, jika mampu ke batas maksimal dari target yang telah ditentukan, baik waktu maupun kualitas pekerjaan.
4.     Tangguh
Sikap dan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
5.     Jujur (Transparan)
Sikap dan perilaku yang didasarkan upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan
6.     Tekun
Sikap dan perilaku yang menunjukkan kerajinan, kesungguhan dan terus menerus dalam belajar dan mengerjakan tugas.
7.     Cerdas
Sikap dan perilaku mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis dan kreatif
8.     Peduli
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam  di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi, selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan
9.     Tanggung-Jawab (Konsekuen)
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa
10. Disiplin
Sikap dan tindakan yang menunjukkan perilaku taat/patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan
11. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
12. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bersikap dan perilaku yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya
13. Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi dan politik bangsa

3. TALUBA (Baiman, Bauntung dan Batuah)

Istilah baiman, bauntung dan batuah merupakan gambaran tentang konsepsi manusia yang diharapkan oleh masyarakat Banjar dan tentang bagaimana hendaknya praktik pendidikan dilakukan berbasis kearifan lokal. Konsepsi dan praktik pendidikan terhadap anak merupakan khasanah nilai-nilai luhur masyarakat Banjar sebagai manifestasi pengetahuan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan oleh leluhur masyarakat Banjar kepada keturunannya.

a.         Baiman
Baiman maknanya adalah orang yang beriman. Orang beriman berarti harus paling tidak mengetahui apa rukun iman dan dasar-dasar ketauhidan. Iman menjadi fondasi bagi kehidupan orang Banjar. Untuk menjadi orang yang beriman, maka setiap orang tua mendidik anak-anaknya agar belajar membaca Al Qur'an, belajar bacaan sholat, belajar sholat, belajar membaca syair Maulud Habsyi atau Maulud Barzanji. Jika tidak diajari oleh orangtuanya, maka orang tua memasukkan anak-anaknya ke pondok-pondok pesantren, sekolah diniyah (atau waktu sore setelah sekolah di SD), dan TPA, maupun belajar dengan Guru Mengaji di rumah dan di langgar. Di rumah urang Banjar bahari selalu terdapat Kitab Parukunan, Kitab Surah Yasin, dan Al Qur,an, hiasan kaligrafi Allah dan Muhammad, dan Ayat Kursi.Dengan fondasi baiman, diharapkan dalam kehidupan si anak dapat menjadi manusia yang bauntung.

b.        Bauntung
Bauntung maknanya adalah bermanfaat atau berguna, bukan hanya sekedar untung saja. Untung dalam bahasa Banjar berarti bernasib baik. Dengan berbasis pada iman,  dan dibekali ilmu keagaamaan, maka insyaallah kehidupannya akan membawa manfaat dan berguna bagi dirinya sendiri, ornag lain, masyarakat, dan lingkungan. Jika asas manfaat dan berguna ini dengan landasan iman dan digunakan menurut proses keilmuan, maka kehidupannya insyaallah akan bernasib baik. Jadi nasib baik, bukan karena keberuntungan semata, tetapi ada koridor keimanan yang menjadi basis dari proses keilmuan untuk pemanfaatan dirinya.

c.         Batuah
Batuah maknanya adalah menjadi manusia yang mempunyai harkat dan martabat, bahkan dalam taraf tertentu bisa menjadi karamah. Namun secara awam manusia yang diharapkan paling tidak memiliki martabat yang mulia baik di dunia maupun di akhirat. Tahap ketiga ini memadukan antara kebermanfaatan manusia dalam konteks amaliah dunia dan amaliah akhirat berbasis iman yang kuat dan keilmuan yang mumpuni. Jika dapat disodorkan sosok yang demikian, dapat dijadikan referensi untuk sosok Urang Banua adalah Muhammad Arsyad al Banjari yang diberi gelar Datu Kalampayan.

Simpulan
Dengan semangat Waja Sampai Kaputing, kita wujudkan sosok ideal Urang Banua, yakni Manusia nang Baiman, Bauntung dan Batuah. Konsep WASAKA dan TALUBA  layak menjadi kajian dalam perspektif etnopedagogi, karena menggambarkan etos, konsepsi dan praktek pendidikan yang telah sekian lama dilakukan oleh masyarakat Banjar yang mengidamkan sosok manusia yang berbasis iman dan keilmuan yang bersumber pada nilai agama dan adat budaya Banjar sebagai manifestasi dari kearifan lokal dalam mendidik anak.

Rujukan
Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktek        Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Hapip, Abdul Djebar Hapip. (1997). Kamus Bahasa Banjar-Indonesia. Edisi III.     Banjarmasin percetakan PT Grafika Wangi Kalimantan-Banjarmasin.

Kartadinata, S. (2010). Etnopedagogik: Sebuah Resureksi Ilmu Pendidikan (pedagogik).
Makalah disajikan pada 2nd International Seminar 2010 ‘Practice Pedagogic in             Global Education Perspective’. PGSD UPI, Bandung, 17 May, 2010.

Nawawi, Ramli, dkk. (1984/1985). Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarga      dan Masyarakat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan          Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen          Kebudayaan Depdikbud.

Sarbaini, 2012. Pendidikan Karakter WASAKA (Waja Sampai Kaputing) UNLAM. Banjarmasin; UPT MKU (MPK-MBB) UNLAM

Suratno, Tatang. (2010). Memaknai Etnopedagogi sebagai Landasan Pendidikan Guru di Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Proceedings of The 4th International          Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia,   8-10 November 2010.



[1] Makalah Diskusi Peningkatan Kemampuan Seniman dan Budayawam Kalsel dengan Tema” Penanaman Nilai-nilai Luhur Budaya Banjar dalam Pembentukan Karakter Urang Banua, Selasa, 12 Nopember 2013, Hote Roditha, Biro Kesra Sekretariat Pemrpov.Kalsel
[2] Lektor Kepala FKIP UNLAM, Peneliti Pusat Penelitin Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kebudayan LPPM Universitas Lambung Mangkurat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar