Dari Wasaka (Waja Sampai Kaputing) Menuju
Taluba (Baiman, Bauntung dan Batuah); Konseptualisasi Nilai-nilai Luhur Suku
Banjar Sebagai Sosok Karakter Harapan
‘Urang Banua’ Perspektif Etnopedagogi[1]
Oleh : Dr. Sarbaini, M.Pd[2]
sarbainiunlambjm1959@gmail.com
Abstrak
Pada suatu
bangsa maupun suku, selalu terdapat nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dan
harapan demi terbentuknya sosok manusia ideal. Nilai-nilai luhur tersebut dapat
digali dalam budaya suatu suku. Untuk suku Banjar, atau urang Banua di Kalsel
sudah mafhum dengan istilah Waja Sampai Kaputing, yang menjadi motto Pemerintah
Propinsi Kalsel dan UNLAM, namun motto WASAKA, sebagai nilai-nilai hanya
menggambarkan proses bekerja dalam mencapai tujuan, pantang menyerah, keras
keras. Jika di era Pangeran Antasari, WASAKA berarti menuju kemerdekaan sebagai
manusia baik secara individu, kemasyarakatan, kebudayaan dan kenegaraan. Tapi
WASAKA dalam konteks pendidikan, kemasyaratan dan kebudayaan, menuju ke SOSOK
URANG BANUA yangdiharapkan sesai kultur nilai suku Banjar.
Kata-kata kunci: etnopedagogi, wasaka, taluba.
Pendahuluan
Dalam kehidupan manusia, tidak bisa lepas dari nilai-nilai. Di mana ada
kehidupan manusia, di situ sarat dengan muatan nilai-nilai. Nilai-nilai dapat
dilihat dari perspektif sosiologis, antropologis, politis dan ekonomis. Pada
setiap bangsa, masyarakat, suku dan keluarga ditemui beragam nilai-moral-norma.
Lazim setiap nilai-nilai bersumber pada agama, budaya, hukum, ilmu, dan
metafisis yang bersumber dari bangsa, masyarakat, suku dan keluarga yang
bersangkutan. Karena itu, untuk Indonesia khususnya, dalam kehidupan
manusianya, eksistensi nilai-nilai yang dianut dan diyakini, tidak selalu
berpijak pada nilai-nilai melulu hanya pada rasionalitas, yang mengacu kepada prinsip-prinsip
logika, ilmu dan ilmiah. Tetapi pada masyarakat tertentu, nilai-nilai juga
bersumber pada agama, budaya, hukum dan metafisis masih dominan dianut. Idealnya basis nilai-nilai dalam hidup adalah
agama, berikut kebudayaan, hukum dan ilmu serta metafisis.
Pada suatu bangsa maupun suku, selalu terdapat nilai-nilai luhur yang
menjadi acuan dan harapan demi terbentuknya sosok manusia ideal. Nilai-nilai
luhur tersebut dapat digali dalam budaya suatu suku. Untuk suku Banjar, atau
urang Banua di Kalsel sudah mafhum dengan istilah WASAKA, Waja Sampai Kaputing,
yang menjadi motto Pemerintah Propinsi Kalsel dan UNLAM, namun dalam pemikiran
kami, motto WASAKA, sebagai nilai-nilai hanya menggambarkan proses bekerja
dalam mencapai tujuan, pantang menyerah, keras keras, dalas hangit, atau
mengutip perkataan Pangeran Antarasari, " Haram Manyarah, Waja Sampai
Kaputing". Jika di era Pangeran Antasari, maka makna WASAKA berarti menuju
kemerdekaan sebagai manusia baik secara individu, kemasyarakatan, kebudayaan
dan kenegaraan. Tapi WASAKA dalam konteks pendidikan, kemasyaratan dan
kebudayaan, menuju ke SOSOK URANG BANUA yang bagaimana?
Di dalam kehidupan masyarakat Banjar,
terutama di daerah perdesaan yang masih kental budaya Banjar, pada saat
ditanyakan kepada orang tua dari suku Banjar, doa apakah yang dipanjatkan
kepada Allah SWT, oleh orang tua kepada anaknya, maka doa yang dipanjatkan
biasanya adalah "Mudahan anakku menjadi orang yang Baiman, Bauntung
dan Batuah, panjang umur, murah rezeki, hidup beserta iman dan mati
beserta iman". Doa tersebut, biasanya muncul pada saat seorang ibu,
mendoakan kepada anak-anaknya, atau seorang nini (nenek) kepada cucunya.
Doa dengan ucapan " Mudahan
Baiman, Bauntung dan Batuah" selama ini hanya terbatas sebagai
doa yang meluncur dari hati seorang ibu kepada anaknya, atau nenek mendoakan
kepada cucunya, saat mendendangkan untuk tidur di ayunan, maupun meninabobokan
di tempat tidur. Kosa kata "Baiman, Bauntung dan Batuah" jika
digali lebih dalam merupakan salah bentuk dari kearifan lokal dalam pendidikan
anak. Dalam ilmu pendidikan sekarang lebih dikenal dengan etnopedagogi.
Makalah ini mencoba melakukan kajian
awal dari perspektif etnopedagogi terhadap makna dari WASAKA dan TALUBA sebagai
khasanah kearifan lokal masyarakat, khususnya orang tua suku Banjar dalam
mendidik karakter anak menjadi sosok manusia harapan di masa depan.
Pembahasan
1. Etnopedagogi
Krisis multidimensi di Indonesia satu dekade terakhir yang
memerlukan pemecahan berbasis bukti (evidence-based) terutama dari
disiplin ilmu humaniora, termasuk pendidikan dan
pengajaran, melatarbelakangi muculnya ide Etnopedagogi. Ide tentang etnopedagogi di Indonesia muncul di kampus
UPI melalui pemikiran Alwasilah,et.al (2009) dan Kartadinata (2010). Istilah
etnopedagogi di UPI menurut Suratno (2010) dapat dipandang sebagai suatu
pesan terkait dengan dengan istilah budaya-karakter (aspek etno), dan
pendidikan keguruan (aspek pedagogi).
Alwasilah, et.al (2009) mengemukakan
dalam konteks budaya secara umum, etnopedagogi menaruh perhatian khusus terhadap local genius dan local wisdom dengan mengungkap
nilai-nilai budaya Sunda sebagai model awal. Dalam
perspektif hakikat
pendidikan, baik Alwasilah et al. (2009) maupun Sunaryo (2010)
memandang bahwa pendidikan tidak terlepas dari aspek sosial dan kultural.
Pendidikan bersifat deliberatif dalam arti masyarakat mentransmisikan dan mengabadikan
gagasan kehidupan yang baik yang berasal dari kepercayaan masyarakat yang
fundamental mengenai hakikat dunia, pengetahuan dan tata nilai (Alwasilah et al.,
2009, p16). Oleh karena itu, diperlukan reorientasi landasan ilmiah
mengenai pendidikan yang hirau terhadap nilai-nilai kemanusiaan,
sesuatu yang selama ini luput dari perhatian dikarenakan
kurangnya studi tentang landasan budaya pendidikan. Keutamaan
pendidikan hendaknya jangan sampai tereduksi menjadi hal-hal yang superficial,
sebagaimana terjadi kini pada rezim standarisasi, sehingga mengabaikan tujuan
luhur dari pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan yang membudayakan
(Suratno, 2010).
Berdasarkan analisis terhadap dimensi budaya dan pendidikan,
Alwasilah et al. (2009, Suratno,2010) memandang Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis
kearifan lokal dalam berbagai ranah serta menekankan pengetahuan atau
kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang
dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat, yakni kearifan lokal tersebut
terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola
dan diwariskan. Dalam hal ini, kearifan lokal memiliki ciri
(Suratno, 2010); berdasarkan
pengalaman; 2) teruji setelah digunakan berabad-abad; 3) dapat diadaptasikan
dengan kultur kini; 4) padu dengan praktik keseharian masyarakat dan lembaga;
5) lazim dilakukan oleh individu maupun masyarakat; 6) bersifat dinamis; dan 7)
sangat terkait dengan sistem kepercayaan.
2. WASAKA (Waja Sampai Kaputing)
Waja Sampai
Kaputing (Wasaka) adalah Motto dari Universitas Lambung Mangkurat, bahkan
digunakan juga sebagai Motto dari Kalimantan Selatan. Motto ini merupakan
semboyan dan pesan-pesan yang pernah dikemukakan oleh Pangeran Antasari dalam
perjuangannya melawan penjajah. Berikut semboyan dan pesan-pesan yang
disampaikan oleh Pangeran Antasari.
Pesan-Pesan
Pangeran Antasari
Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing
Lamun Tanah Banyu Kita
Kahada Handak Dilincai Urang
Jangan Bacakut Papadaan Kita
Lamun Handak Tulak Manyarang Walanda
Baikat Hati Ditali Sindad
Jangan Sampai Mati Parahatan Bukah
Matilah Kita Di jalan Allah
Siapa Babaik-baik Lawan Walanda
Tujuh Turunan Kahada Aku Sapa
Lamun Kita Sudah Sapakat
Handak Mahinyik Walanda
Jangan Walanda Dibari Muha
Badalas Pagat Urat Gulu
Lamun Manyarah Kahada
Haram Dijamah Walanda
Haram Diriku Dipenjara
Haram Negri Dijajah
Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing
Waja Sampai
Kaputing berarti usaha sampai akhir (Volharding).
Makna lain dari Wasaka adalah terbuat dari baja mulai pangkal sampai ke
ujungnya, maksudnya perjuangan yang tak pernah berhenti hingga tetes darah
penghabisan, atau hingga perjuangan tercapai. Waja Sampai Kaputing mengandung
maksud apabila memulai suatu pekerjaan, harus sampai selesai pelaksanaannya.
Setiap orang bertanggung jawab untuk menuntaskan pekerjaannya jangan sampai
menggantung. Semboyan Wasaka ini merupakan lambang bahwa penduduk Kalimantan
Selatan selalu tekun dalam bekerja, melaksanakan segala sesuatu dengan penuh
ikhlas, rasa kesanggupan dan konsekuen tanpa berhenti di tengah jalan, harus
sampai pada tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu selalu dilandasi oleh
tekad yang kuat dan tangguh, bagaikan baja (waja)
dari titik awal (ujung) sampai ke
titik tujuan (kaputing), dan haram
berhenti di tengah jalan (haram manyarah).
Semboyan dan
pesan-pesan Waja Sampai Kaputing dari Pangeran Antasari hendaknya menjadi nilai
inti (core value) ataupun “ruh” dari pendidikan karakter Universitas
Lambung Mangkurat, yang tidak akan berhenti sampai tujuan tercapai, dengan
dilandasi oleh nilai ikhlas, kerja keras, bekerja sampai tuntas, semangat kebangsaan, cinta tanah air dan
memperoleh yang memuaskan bagi untuk diri pribadi maupun masyarakat.
Nilai-nilai
Sasaran yang menjadi target dari pendidikan karakter Wasaka adalah bersumber
pada nilai-nilai yang terdapat dalam Wasaka itu sendiri dan nilai minimal yang
hendaknya diterapkan menurut Desain Inti Pendidikan Karakter. Adapun
nilai-nilai yang terdapat dalam motto Waja Sampai Kaputing, antara lain adalah
nilai-nilai religius, ikhlas, kerja keras, tangguh, tekun, bertanggung jawab,
dan konsekuen. Sementara nilai-nilai minimal yang hendaknya ditanamkan dalam
pendidikan karakter adalah tangguh, jujur, cerdas dan peduli. Di samping itu
dari Seminar dan Lokakarya Pendidikan Karakter yang dilaksanakan Universitas
Lambung Mangkurat (2012), maka diperoleh beberapa nilai yang layak dijadikan
nilai-nilai target pendidikan karakter, berdasarkan frekuensi yang kemunculan
pilihan yang disampaikan peserta seminar dan lokakarya diperoleh nilai-nilai
jujur, transparan, disiplin, cerdas, mandiri, peduli, profesional, tangguh,
taat/patuh, kerja keras dan tekun.
Dari
nilai-nilai Waja Sampai Kaputing, Nilai Minimal dari Desain Inti Pendidikan
Karakter dan hasil Seminar dan Lokakarya Pendidikan Karakter Universitas
Lambung Mangkurat dipilihnya 13 nilai-nilai sasaran yang akan menjadi target
pendidikan karakter Wasaka Universitas Lambung Mangkurat :
Tabel 1. Nilai-Nilai Sasaran yang Menjadi Target Pendidikan Karakter Wasaka
NILAI-NILAI
TARGET
|
DESKRIPSI
|
1.
Religius
|
Sikap dan perilaku yang patuh
dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain
|
2.
Ikhlas
|
Sikap dan perilaku yang
memulai segala pekerjaan dimulai dengan atas nama Allah, Tuhan Yang Maha Esa,
segala rezeki, karunia, rahmat adalah atas ijin Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Kerjakan tugas dan kewajiban, serahkan semua urusan kepada Allah, Tuhan Yang
Maha Esa
|
3.
Kerja Keras
|
Sikap dan perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar
dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya sampai ke batas
optimal, jika mampu ke batas maksimal dari target yang telah ditentukan, baik
waktu maupun kualitas pekerjaan.
|
4.
Tangguh
|
Sikap dan perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar
dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
|
5.
Jujur (Transparan)
|
Sikap dan perilaku yang
didasarkan upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan
|
6.
Tekun
|
Sikap dan perilaku yang
menunjukkan kerajinan, kesungguhan dan terus menerus dalam belajar dan
mengerjakan tugas.
|
7.
Cerdas
|
Sikap dan perilaku mencari dan
menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis dan kreatif
|
8.
Peduli
|
Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan
upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi, selalu ingin
memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan
|
9.
Tanggung-Jawab (Konsekuen)
|
Sikap dan perilaku seseorang
untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya),
negara dan Tuhan Yang Maha Esa
|
10. Disiplin
|
Sikap dan tindakan yang
menunjukkan perilaku taat/patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan
|
11. Mandiri
|
Sikap dan perilaku yang tidak
mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
|
12. Semangat Kebangsaan
|
Cara berpikir, bersikap dan
perilaku yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
diri dan kelompoknya
|
13. Cinta Tanah Air
|
Cara berpikir, bersikap dan
berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi dan politik bangsa
|
3. TALUBA (Baiman, Bauntung dan Batuah)
Istilah baiman,
bauntung dan batuah merupakan gambaran tentang konsepsi manusia yang
diharapkan oleh masyarakat Banjar dan tentang bagaimana hendaknya praktik
pendidikan dilakukan berbasis kearifan lokal. Konsepsi dan praktik pendidikan
terhadap anak merupakan khasanah nilai-nilai luhur masyarakat Banjar sebagai
manifestasi pengetahuan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan
diwariskan oleh leluhur masyarakat Banjar kepada keturunannya.
a.
Baiman
Baiman maknanya adalah
orang yang beriman. Orang beriman berarti harus paling tidak mengetahui apa
rukun iman dan dasar-dasar ketauhidan. Iman menjadi fondasi bagi kehidupan
orang Banjar. Untuk menjadi orang yang beriman, maka setiap orang tua mendidik
anak-anaknya agar belajar membaca Al Qur'an, belajar bacaan sholat, belajar
sholat, belajar membaca syair Maulud Habsyi atau Maulud Barzanji. Jika tidak
diajari oleh orangtuanya, maka orang tua memasukkan anak-anaknya ke
pondok-pondok pesantren, sekolah diniyah (atau waktu sore setelah sekolah di
SD), dan TPA, maupun belajar dengan Guru Mengaji di rumah dan di langgar. Di
rumah urang Banjar bahari selalu terdapat Kitab Parukunan, Kitab Surah Yasin,
dan Al Qur,an, hiasan kaligrafi Allah dan Muhammad, dan Ayat Kursi.Dengan
fondasi baiman, diharapkan dalam kehidupan si anak dapat menjadi manusia yang
bauntung.
b.
Bauntung
Bauntung maknanya adalah
bermanfaat atau berguna, bukan hanya sekedar untung saja. Untung dalam bahasa
Banjar berarti bernasib baik. Dengan berbasis pada iman, dan dibekali ilmu keagaamaan, maka insyaallah
kehidupannya akan membawa manfaat dan berguna bagi dirinya sendiri, ornag lain,
masyarakat, dan lingkungan. Jika asas manfaat dan berguna ini dengan landasan
iman dan digunakan menurut proses keilmuan, maka kehidupannya insyaallah akan
bernasib baik. Jadi nasib baik, bukan karena keberuntungan semata, tetapi ada
koridor keimanan yang menjadi basis dari proses keilmuan untuk pemanfaatan
dirinya.
c.
Batuah
Batuah maknanya adalah
menjadi manusia yang mempunyai harkat dan martabat, bahkan dalam taraf tertentu
bisa menjadi karamah. Namun secara awam manusia yang diharapkan paling tidak
memiliki martabat yang mulia baik di dunia maupun di akhirat. Tahap ketiga ini
memadukan antara kebermanfaatan manusia dalam konteks amaliah dunia dan amaliah
akhirat berbasis iman yang kuat dan keilmuan yang mumpuni. Jika dapat
disodorkan sosok yang demikian, dapat dijadikan referensi untuk sosok Urang
Banua adalah Muhammad Arsyad al Banjari yang diberi gelar Datu Kalampayan.
Simpulan
Dengan semangat Waja
Sampai Kaputing, kita wujudkan sosok ideal Urang Banua, yakni Manusia nang
Baiman, Bauntung dan Batuah. Konsep WASAKA dan TALUBA layak menjadi kajian dalam perspektif
etnopedagogi, karena menggambarkan etos, konsepsi dan praktek pendidikan yang
telah sekian lama dilakukan oleh masyarakat Banjar yang mengidamkan sosok manusia
yang berbasis iman dan keilmuan yang bersumber pada nilai agama dan adat budaya
Banjar sebagai manifestasi dari kearifan lokal dalam mendidik anak.
Rujukan
Alwasilah,
A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi:
Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Hapip, Abdul Djebar Hapip. (1997). Kamus Bahasa
Banjar-Indonesia. Edisi III. Banjarmasin
percetakan PT Grafika Wangi Kalimantan-Banjarmasin.
Kartadinata,
S. (2010). Etnopedagogik: Sebuah Resureksi Ilmu Pendidikan
(pedagogik).
Makalah disajikan pada 2nd International Seminar 2010
‘Practice Pedagogic in Global Education
Perspective’. PGSD UPI, Bandung, 17 May, 2010.
Nawawi, Ramli, dkk. (1984/1985). Tata Kelakuan
Di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan
Masyarakat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan Depdikbud.
Sarbaini, 2012. Pendidikan Karakter WASAKA (Waja
Sampai Kaputing) UNLAM. Banjarmasin; UPT MKU (MPK-MBB) UNLAM
Suratno, Tatang.
(2010). Memaknai Etnopedagogi sebagai Landasan Pendidikan Guru di Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Proceedings of The 4th International Conference
on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.
[1] Makalah Diskusi
Peningkatan Kemampuan Seniman dan Budayawam Kalsel dengan Tema” Penanaman
Nilai-nilai Luhur Budaya Banjar dalam Pembentukan Karakter Urang Banua, Selasa,
12 Nopember 2013, Hote Roditha, Biro Kesra Sekretariat Pemrpov.Kalsel
[2] Lektor Kepala FKIP UNLAM,
Peneliti Pusat Penelitin Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan Kebudayan LPPM
Universitas Lambung Mangkurat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar