IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ESENSIAL
SEBAGAI BASIS REVOLUSI KARAKTER DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH
Sarbaini,
Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Ketua AP3KnI
Provinsi Kalimantan Selatan
sarbainiunlambjm1959@gmail.com
sar8aini59@yahoo.com
Makalah dalam Seminar Nasional dan Rapat Kerja
AP3KnI “Revolusi Pendidikan Karakter Bangsa”, 28-29 Oktober 2015. Malang: Prodi
PPKn Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan FIS Universitas Negeri Malang
ABSTRAK
Para ilmuwan sosial sejak pertengahan dasawarsa
1970an sudah mengisyaratkan transformasi mental masyarakat Indonesia, agar
dapat hidup modern (Lubis, 1985); yang memerlukan syarat tumbuhnya mentalistas
pembangunan (Koentjaraningrat, 1987). Di sisi lain, disadari bahwa di tingkat
budaya, sikap-sikap negatif atau tidak sesuai dengan kondisi ideal terus
diperlihatkan secara masif dan terus menerus. Hal ini sejalan dengan kondisi
Pendidikan Kewarganegaraan, yakni substansi dan tujuan PPKn yang mengandung
muatan nilai-nilai Pancasila, seringkali terjadi jurang antara yang diajarkan
di sekolah (nilai ideal) dengan kehidupan nyata di masyarakat (nilai real).
Selain itu, sepanjang sejarah, mata pelajaran yang bekaitan dengan moral warga
negara (Kewarganegaraan, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan) selalu dikaitkan dengan degradasi
moral bangsa. Makalah ini memaparkan nilai-nilai esensial yang menjadi landasan
bagi revolusi karakter dalam PKn, dan bagaimana implementasinya di sekolah
Kata
kunci: nilai esensial, revolusi
karakter, pendidikan kewarganegaraan
Latar Belakang
Para ilmuwan sosial sejak pertengahan dasawarsa
1970an sudah mengisyaratkan transformasi mental masyarakat Indonesia, agar
dapat hidup modern (Lubis, 1985); yang memerlukan syarat tumbuhnya mentalistas
pembangunan (Koentjaraningrat, 1987). Di sisi lain, disadari bahwa di tingkat
budaya, sikap-sikap negatif atau tidak sesuai dengan kondisi ideal terus
diperlihatkan secara masif dan terus menerus. Kondisi degradasi moral sangat
mengkhawatirkan, jika dibiarkan akan menyebabkan terjadinya krisis karakter di
Indonesia.
Kondisi degradasi moral yang terjadi di Indonesia,
nampaknya sejalan dengan indikasi degradasi moral yang menjadi tanda kehancuan
suatu negara, seperti dikemukakan oleh Lickona (1992), yaitu meningkatnya
kekerasan pada remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat
dalam tindak kekerasan, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, dan seks
bebas, kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa
hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan
warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya saling curiga dan
kebencian di antara sesamanya.
Kondisi demikian juga nampaknya relevan dengan apa
yang dikhawatirkan Mahatma Gandhi (Soemarno, 2010) tentang tujuh dosa yang
mematikan, yaitu : berkembangnya nilai dan perilaku budaya kekayaan tanpa
bekerja, kesenangan tanpa nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa
moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan.
Dilihat dari perspektif Pancasila sebagai falsafah
maupun ideologi negara, maka Pancasila dalam implementasi sila-sila Pancasila
di kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara telah terjadi pergeseran,
penyimpangan dan pelanggaran. Beberapa pergeseran, penyimpangan dan pelanggaran
adalah (Mulyawan Karim, 2010, Sarbaini, 2015) :
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila adalah
“roh, dasar dan tujuan” bagi keempat sila lainnya, baik dalam konteks
ketauhidan individu maupun kesalehan sosial, yang hasilnya bermuara pada
keadilan sosial. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar penghayatan dan
pengamalan Pancasila, tampaknya masih belum dihayati benar oleh masyarakat
pemeluk agama dan aparat pemerintahan sendiri, belum terjadi tranformasi
nilai-nilai. Buktinya dalam kehidupan masih terdapat perilaku kekerasan atas
nama agama, memuliakan agama daripada Tuhan,tindakan secara sepihak melakukan
pemaksaan dan memaksakan kebenaran agama menurut pahamnya kepada pihak lain,
kesalehan hanya terhenti pada acara ritual-formalistik, tidak berdampak pada
kehidupan sosial kemasyarakatan, juga dalam praksis aparat pemerintahan. Namun
yang paling miris bagi sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basis “tauhid” dan
sumber bagi perapan sila-silal lainnya bergeser menjadi “Keuangan Yang Maha
Kuasa” sebagai “tauhid materialisme” dalam berbagai aspek kehidupan. Tauhid
materialisme lahir karena prinsip-prinsip neoliberalisme yang diterapkan oleh
pemerintah dalam sistem ekonomi, yang membuahkan anak-pinak dampaknya dalam
sistem-sistem kehidupan lainnya.
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sila kedua, menghendaki
manusia berlaku adil dan beradab, mulai robek di sana-sini. Di dalam kehidupan
sekarang, kita dipertontonkan kekerasan demi kekerasan, terutama dari massmedia
dan dunia maya. Kekerasan politik, vertikal dan horisontal secara privat maupun
publik menjadi hal-hal yang biasa dilihat dan disaksikan, seperti pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan, merampas hak-hak sipil, politik, hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, parodi kesenjangan sosial ekonomi, istilah “kamu”
dan “kami: menggeser “kita”, gaya hidup “eksklusivisme”. Ini manifestasi produk dari kekerasan kultural,
karena melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak. Fenomena “asap” mungkinkah
merupakan manifestasi kekerasan kultural? Masyarakat kehilangan hak hidup
karena kerusakan sosial-ekologis dan perampasan sumber daya, korupsi yang
merajalela, bahkan persengkongkolan penguasa dan pengusaha korup menjadi asal
muasal kemelaratan rakyat. Korupsi kemanusiaan atau Kemanusiaan yang terkorupsi? Sehingga berani
melanggar peraturan yang dibuat sendiri, atau peraturan yang dibuat oleh pihak
yang berwenang, kesemrawutan lalulintas adalah salah satu buktinya.
3.
Persatuan Indonesia, adalah esensi Pancasila dan utuhnya
negara-bangsa Indonesia ini. Berbagai upaya dilakukan oleh para pemimpin bangsa
ini untuk memperkuat persatuan bangsa. Wawasan Nusantara, Satelit Palapa,
Manunggal ABRI-Rakyat, Bela Negara, merupakan gagasan dan tindakan untuk
memperkuat persatuan Indonesia. Sama halnya dengan sila yang lain, maka
persatuan bangsa akan terganggu, sejumlah sengketa hukum kasus kehutanan,
pertambangan nampakya perlu ditangani secara adil dan tegas. Era otonomi daerah
telah mengeliminasi disintegrasi, namun dampak lainnya adalah korupsi yang
merajalela di tingkat daerah, penyalahgunaan wewenang terjadi di mana-mana,
elite bermain, rakyat yang menjadi korban. Kondisi ini dapat dilihat di daerah
perdesaan, terjauh dan di perbatasan, khususnya kesejahteraan rakyat.
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi berbasis
pada hikmat dan musyawarah. Namun di zaman reformasi, bangsa Indonesia sedang
menjalankan demokrasi tanpa nilai-nilai yang menjadi acuan, permusyarawatan
menjadi hilang, belajar atau
bereksperimen dengan demokrasi ? melalui atau mewujud menjadi demokrasi
transaksional. Ekses paling nyata dari menguatnya peranan partai politik dan
parlemen pascareformasi adalah indikasi adanya permusyawaratan transaksional
(usulan-usulan anggaran kontroversial). Selain itu Partai politik menjadi
penyewa perahu bagi kandidat untuk maju dalam pilkada; dan itu uang. Kandidat
harus membayar konsultan politik untuk memoles citra dan itu berarti uang,
untuk pemilih pun harus diberi uang. Bagi pemilih, jika tidak memberi uang,
maka kandidat tidak akan dipilih. Kapital menjadi salah satu faktor penting,
akankah politik dikuasai kelompok berkapital besar, sementara kita tidak tahu
dari mana kapital itu asal-muasalnya. “Keuangan Yang Maha Kuasa”
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesial, adalah hilir
dari pengamalan sila-sila yang dimulai dari sila Ketuhanan, sila Kemanusiaan,
sila Persatuan, dan Kerakyatan. Sila keadilan adalah kualitas dari semua
pengalaman sila-sila lainnya. Jika hulu utama dari Pancasila, Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa benar-benar dijadikan landasan “tauhid individu” dan “kesalehan
sosial”, maka akan membuahkan manusia yang adil dan beradab, memperkuat
persatuan, dan mengutamakan hikmat dan
permusyawaratan, akhirnya mewujud pada keadilan sosial. Akan tetapi bila
“Keuangan Yang Maha Kuasa” menjadi azas “tauhid individu”, maka yang terwujud
adalah “keserakahan sosial”, menjadi manusia yang zalim dan rakus, merobek
persatuan, dan menunggangi kerakyatan untuk kepenting pribadi dan kelompok, dan
ketidakadilan dalam semua lini kehidupan.
Sementara Paulus Wirutomo (2015) sebagai
Ketua Pokja Revolusi mental (karakter) mengemukakan kondisi yang terjadi di
Indonesia adalah (1) terjadinya krisis karakter, dengan indikasi; Ada sesuatu
yang salah tentang nilai. Ada nilai luhur bangsa yang terlupa; orang yang
berperilaku baik, jujur dan bersih, justru tidak populer, mereka yang baik
menjadi musuh bersama; peradaban Indonesia sedang berhenti; krisis mental harus
diubah dengan cepat; orang merasa pantas dan berhak melakukan tindak kekerasan
terhadap orang lain. (2) Intoleransi, indikasinya; saat ini toleransi mengalami
kemunduran dibandingkan 15 tahun yang lalu. (3) Pemerintah, ada tapi tidak
hadir, indikasinya; birokrasi sekarang, gendut berbelit, rapuh: kondisi semakin
buruk, karena pemerintahan semakin tidak mendengarkan (rakyat), ada tetapi
tidak hadir; penegakkan hukum tidak jelas, antara yang salah san benar
tergantung lobby; banyak pejabat melakukan impunitas bagi pelaku kekerasan,
bahkan dibentangkan karpet merah; masyarakat mengalami hilang kepercayaan
kepada pemerintah. (4). Rakyat sebagai objek pembangunan, indikasinya; ada
pandangan masyarakat bahwa perempuan adalah warga kelas dua; yang perlu dirubah
adalah mentalitas proyek. Kondisi yang terjadi di Indonesia secara substansi
menunjukan tiga permasalahan yan dialami bangsa Indonesia, (1) kewibawaan
negara yang merosot; (2) daya saing yang rendah; (3) intoleransi dan rapuhnya
persatuan bangsa, jika dibiarkan akan terjadi disintegrasi bangsa, dan akan
mengancam eksistensi NKRI.
Problematik lain adalah sejak tahun 2003, yaitu
berdasarkan UU SPN, mata pelajaran Pendidikan Pancasila di sekolah dan mata
kuliah Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, justru ditiadakan. Peniadaan
demikian seakan-akan “mengusir” Pendidikan Pancasila dari kurikulum pendidikan
nasional (Winarno, 2010), dampaknya mahasiswa dan peserta didik tidak
mendapatkan pengetahuan tentang Pancasila, apalagi untuk menghayati dan
mengamalkannya. Meskipun demikian materi tentang Pancasila ditampung dalam
Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi substansi dan tujuan kajian Pancasila
sebagai materi perlu dikembangkan menjadi pengembang karakter keindonesiaan
yang berbasis nilai-nilai Pancasila.
Ironisnya substansi dan tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan yang mengembangkan karakter keIndonesiaan berbasis
nilai-nilai Pancasila selalu bertentangan dengan nilai-nilai real di
masyarakat. Selain
itu, sepanjang sejarah, mata pelajaran yang berkaitan dengan moral warga negara
(Kewarganegaraan, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan) selalu dikaitkan dengan degradasi
moral bangsa.
Kondisi
masyarakat dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) demikian perlu dilakukan
perubahan, khususnya yang berkaitan dengan karakter manusia, khususnya peserta
didik, sehingga sudah saatnya dilakukan Revolusi mental (karakter). Namun revolusi
mental (karakter) manakah yang dimaksud, nilai-nilai esensial apakah yang
menjadi basis revolusi karakter dalam PKn, dan bagaimana implementasinya di
sekolah.
Revolusi Mental (Karakter)
Revolusi
mental (karakter) menjadi diksi yang populer, sejak Presiden Jokowi
melontarkannya sebagai isu-isu strategis dalam kampanye pemilihan calon
presiden, hingga menjadi salah satu Nawacitanya, yakni melakukan revolusi
karakter bangsa, melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan
nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan.
Sementara
menurut Mendikbud Anis Baswedan (2104) memaparkan Nawacita yang terkait dengan
pendidikan, yaitu :
1.
Meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia, melalui program “Indonesia Pintar” dengan
“Wajib Belajar 12 tahun bebas pungutan.
2.
Meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dengan membangun
sejulan science and technopark di kawasan politeknik dan SMK-SMK dengan
prasarana dan sarana teknologi terkini.
3.
Melakukan
revolusi karakter bangsa, dengan membangun pendidikan kewarganegaraan;
menghilangkan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional; jaminan
hidup yang memadai bagi para guru, terutama bagi guru yang ditugaskan di daerah
terpencil
4.
Memperteguh
ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia, dengan memperkuat
pendidikan ke-bhineka-an dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga;
mengembangkan insetif khusus untuk memperkenalkan dan mengangkat kebudayaan
lokal; dan meningkatkan proses pertukaran budaya untuk membangun kemajemukan
sebagai kekuatan budaya.
Berpijak pada Nawacita
Presiden Jokowi dan Mendikbud Anis Baswedan, maka Pendidikan Kewarganegaraan
mempunyai tugas yang utama, yakni melakukan revolusi karakter bangsa, dan berperanserta
dalam membangun PKn.
Revolusi
Istilah
revolusi pada mulanya, menurut Karlina Supelli (2014) tidak memiliki arti
sebagaimana kita sekarang memilikinya. Pada abad ke-13, istilah revolusi
digunakan untuk menggambarkan gerak benda-benda langit yang senantiasa beredar
balik (revolvere). Sementara
perubahan mendasar dalam cara pandang beserta metode dan praktiknya sampai
permulaan zaman modern digunakan istilah renovasi atau restorasi (Francis
Bacon). Baru sesudah peristiwa pemakzulan Raja Inggris 1688, perjuangan koloni
Amerika terhadap Inggris tahun 1775-1783, dan penggulingan Raja Lous VI di
Perancis tahun 1789-1799, istilah
revolusi digunakan untuk menunjukkan perubahan sosial-politik yang berlangsung
cepat dan radikal, serta tidak jarang disertai kekerasan. Dalam sains, istilah
“revolusi keilmuan” mulai lazim digunakan untuk menandai suatu episode keilmuan
yang ditandai dengan keterputusan paradigma, karena munculnya paradigma baru
yang sepenuh berbeda (Thomas Kuhn, 1962).
Dengan
demikian revolusi perubahan ketatanegaraan (pemerintahan) atau keadaan sosial
yang dilakukan dengan kekerasan fisik (dimensi sosial-politik), perubahan cukup
mendasar dalam suatu bidang ilmu (dimensi sains) dan peredaran bumi dan
planet-planet lain dalam mengelilingi matahari (dimensi geografi). Inti dari
makna istilah revolusi adalah transformasi, perubahan rupa, perubahan struktur
dasar menjadi struktur lahir (KBBI).
Mental
Secara
etimologi kata mental berasal dari bahasa Latin “mens” atau metis”, yang
memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, atau semangat. Mental adalah hal-hal
yang berkaitan dengan psycho atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi perilaku
individu. Setiap perilaku dan ekspresi gerak-gerak individu merupaka dorongan
dan cerminan dari kondisi (suasana) mental (Kartini Kartono dan Jenny Andari, 1989
).
Sementara
Karlina Supelli (2014) mengemukakan istilah mental adalah nama bagi genangan
segala sesuatu yang menyangkut cara hidup. Hal-hal yang bersifat mental,
kendati tidak bersifat fisik, tetapi selalu terkait dengan hal-hal keragawian
tindakan dan ciri fisik benda-benda di dunia. Dunia mental tidak mungkin
terbangun tanpa pengalaman ragawi. Cara hidup zaman tertentu adalah cara
berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini sesuatu,
cara berperilaku dan bertindak dipengaruhi oleh zaman, sehingga disebut
mentalitas zaman. Jadi mental dipengaruhi oleh jiwa, struktur dasar manusia,
namun juga dipengaruhi unsur fisik, yakni struktur lahir. Kedua struktur ini secara
timbal balik dipengaruhi oleh zaman, maka lahirlah “mentalitas zaman”.
Karakter
Istilah karakter (character)
atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan watak, adalah sifat-sifat hakiki seseorang atau suatu kelompok
atau bangsa yang sangat menonjol sehingga dapat dikenali dalam berbagai situasi
atau merupakan trade mark atau ciri
khas orang tersebut (Tilaar, 2008). Karakter adalah perangkat individual
dari karakteristik psikologis yang mempengaruhi kemampuan dan kecenderungan
seseorang untuk berfungsi secara moral. Karakter
adalah terdiri dari karakteristik-karakteristik yang mengarahkan seseorang
untuk melakukan sesuatu yang benar atau tidak melakukan sesuatu yang benar (Berkowitz, 2002). Lickona (Martadi, 2010) merujuk pada
konsep good character yang dikemukakan oleh Aristoteles “... the life of
right conduct-right conduct in relation to other persons and in relation to one
self (karakter dapat dimaknai sebagai kehidupan berperilaku baik/penuh
kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan YME, manusia, dan
alam semesta) dan terhadap diri sendiri).
Revolusi mental (Karakter)
Istilah
revolusi mental (karakter) menjadi hangat dibicarakan, namun dikupas secara
mendalam, apa makna di balik istilah itu. Revolusi mental (karakter) menurut
Soekarno merupakan satu gerakan untuk menggembleng manusa Indonesia agar
menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang
rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala (Soekarno, GPR Revolusi mental, 2015).
Makna revolusi dari Soekarno ini nampak gerakan untuk membentuk etos manusia
Indonesia. Sebagai referensi GPR Revolusi mental, (2015) menawarkan makna Revolusi
mental (karakter), yaitu :
1.
Revolusi
mental (karakter) merupakan gerakan seluruh masyarakat (pemerintah dan rakyat)
dengan cara cepat, untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis yang
diperlukan oleh bangsa dan negara, untuk mampu menciptakan ketertiban dan
kesejahteraan rakyat, sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi.
2.
Revolusi
mental (karakter) sebagai gerakan mengubah cara pandang, pikiran, sikap dan
perilaku ssetiap orang, untuk berorientasi pada kemajuan dan kemodernan,
sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan
bangsa-bangsa di dunia.
Kedua definisi revolusi
mental (karakter) ini selain menuju gerakan untuk melakukan transformasi secara
cepat terhadap ketiga aspek manusia (kognitif, afektif, dan psikomotor),
berdasarkan nilai-nilai strategis, dan berorientasi pada kemajuan, kemodernan,
dan kompetitif, guna memenangkan persaingan. Namun tidak memuat nilai-nilai
luhur, sebagai landasan dari nilai-nilai strategis, yakni nilai-nilai luhur
Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
kerakyatan dan nilai keadilan sebagai nilai-nilai ideal, esensial dan
nilai-nilai inti. Nilai-nilai strategis adalah nilai instrumental yang
digunakan untuk mengarungi dunia yang berorientasi pada kemajuan, keemodernan
dan kompetitif.
Revolusi
mental (karakter) juga merupakan suatu bentuk strategi kebudayaan yang memberi
arah bagi terciptanya kemaslahatan hidup berbangsa dan bernegara, basis revolusi
mental (karakter) adalah Pancasila, dengan tiga prinsip dasar Trisaksi;
Berdaulatan secara politik, Berdikari dalam bidang ekonomi, dan Bekepribadian
dalam bidang kebudayaan. Strategi kebudayaan lebih dari sekedar kebijakan,
melainkan sebuah pengamatan terus menerus atas dinamika sosial budaya di
masyarakat;segala konflik dan pertentangan yang terjadi, untuk diolah menjadi
suatu pelajaran (Semiarto Aji Purwanto, 2014; Van Peursen, 1996). Revolusi
mental (karakter) sebagai sebuah strategi kebudayaan, menurut Heddy Shri
Ahimsa-Putra (2014) adalah digunakan untuk mengatasi berbagai mentalitas
negatif dengan antitesinya, yaitu “mentalitas anti”, yaitu (1)
anti-kebodohan-pembodohan; (2) anti-kecurangan dan pencurangan; (3)
anti-kesenjangan dan penyenjangan; (4) anti-rendah diri dan perendahan; dan (5)
anti-kerusuhan dan perusuhan.
Jadi revolusi
mental (karakter) adalah gerakan transformasi tiga aspek manusia secara
integral, yaitu aku yang percaya (afektif), aku yang berpikir (kognitif), dan
aku yang bertindak (psikomotor), yang berlangsung baik dalam skala individu,
kelompok, masyarakat, maupun skala bangsa, dilakukan secara terus-menerus,
terindikasi secara berkelanjutan menunjukkan adanya tahapan perubahan pada
ketiga domain manusia (sosialized,
internalized, personalized, civilized), sehingga berperilaku benar secara
moral berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai esensial-strategis,
serta memiliki mentalitas anti, beretos kemajuan, modern dan kompetitif segala
lini kehidupan.
Nilai-Nilai Esensial Revolusi Mental (Karakter)
Landasan
dan sumber dari revolusi mental (karakter) adalah nilai-nilai. Dapat dikatakan
bahwa revolusi mental (karakter) berkaitan dengan perubahan orientasi nilai dan
landasan nilai yang dasar dan orientasi dari berperilaku. Oleh karena itu perlu
dikaji nilai-nilai esensial apakah yang menjadi muatan revolusi mental
(karakter).
Salah
satu wacana tentang nilai revolusi mental (karakter) adalah dari GPR Report
(2015) yaitu (1) Integritas terdiri dari jujur, dipercaya, berkarakter, dan tanggungjawab;
(2) Kerja keras, terdiri dari etos kerja, daya saing, optimis, inovatif, dan
produktif; dan (3) Gotong Royong, terdiri dari kerjasama, solidaritas, komunal
dan berorientasi pada kemaslahatan.
Bandingkan
dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang disepakati untuk
implementasi pendidikan karakter (Kemendiknas, 2010; Pusat Kurikulum, 2010, 2011)
yang terdiri dari 18 nilai, sebagaimana pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Delapan Belas Nilai-nilai
Budaya dan Karakter Bangsa
No
|
NILAI
|
DESKRIPSI
|
1
|
Religius
|
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya
|
2
|
Jujur
|
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan
dan pekerjaan
|
3
|
Toleransi
|
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda
dari dirinya
|
4
|
Disiplin
|
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan
|
5
|
Kerja keras
|
Perilaku yan menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi
|
6
|
Kreatif
|
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki
|
7
|
Mandiri
|
Sikap perilaku yang tidak mudah tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
|
8
|
Demokratis
|
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
|
9
|
Rasa ingin tahu
|
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya unuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat, dan didengar
|
10
|
Semangat kebangsaan
|
Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya
|
11
|
Cinta tanah air
|
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik,sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa
|
12
|
Menghargai prestasi
|
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain
|
13
|
Bersahabat/komunikatif
|
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain
|
14
|
Cinta damai
|
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadirannya
|
15
|
Gemar membaca
|
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya
|
16
|
Peduli lingkungan
|
Sikap dan tindakan yang selalu berubah mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
|
17
|
Peduli sosial
|
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkannya
|
18
|
Tanggung jawab
|
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha
Esa
|
Referensi
lainnya untuk nilai atau karakter bangsa Indonesia yang diturunkan dari setiap
sila Pancasila. Hal demikian karena mengacu kepada hakekat Pancasila yang
digali dari budaya bangsa Indonesia, artinya Pancasila telah menjadi pandangan
hidup bangsa Indonesia yang memberikan nilai, pola perilaku, atau karakter
bangsa Indonesia. Nilai, pola perilaku, atau karakter bangsa tersebut merupakan
karakter yang harus ada untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yan
sesuai dengan falsafah dan dasar negara Pancasila.
Nilai,
pola perilaku, atau karakter bangsa Indonesia tercermin dalam (1) Ketuhanan
Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Adapun
nilai, pola perilaku, atau karakter bangsa Indonesia yang diturunkan dari
setiap sila Pancasila (Kemendikbud, 2013) dapat dilihat pada tabel 2 berikut
ini.
Tabel 2. Seperangkat Karakter dari
Setiap Sila Pancasila
Ketuhanan
Yang Maha Esa
|
Kemanusiaan
|
Persatuan
dan Kesatuan
|
Kerakyatan
|
Keadilan
Sosial
|
1.
Hormat dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan
2.
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan
kepercayaan itu
3.
Tidak memaksakan agama dan kepercayaan kepada orang lain
4.
Hubungan antara manusia dengan Tuhannya
|
1.
Persamaan derajat, hak, dan kewajiban
2.
Saling mencintai
3.
Tenggang rasa
4.
Tidak semena- mena terhadap orang lain
5.
Gemar melakukan kegiatan kema- nusiaan
6.
Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
7.
Berani membela kebenaran dan keadilan
8.
Merasakan diri- nya sebagai bagian dari selu- ruh umat manu- sia serta meng- embangkan
si- kap hormat- menghormati
|
1.
Menempatkan persatan, kesa- tuan,kepenting- an, dan kesela- matan bangsa
di atas kepen- tingan pribadi atau golongan
2.
Rela berkorban untuk kepen- tingan bangsa dan negara
3.
Bangga menja- di bangsa Indo- nesia yang ber- tanah air Indo- nesia,
serta menjunjung tinggi bahasa Indonesia
4.
Memajukan persatuan dan kesatuan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika
|
1.
Mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara
2.
Tidak memaksa- kan kehendak kepada orang lain
3.
Mengutamakan musyawarah un- tuk mufakat
4.
Beritikad baik dan dan bertang- gungjawab da- lam melaksana- kan
keputusan bersama
5.
Menggunakan akal sehat dan nurani luhur dalam bermu- syawarah
6.
Mengambil ke- putusan yang se-
cara moral dapat dipertanggung- jawabkan kepa- da Tuhan Yang Maha
Esa, serta nilai kebe- naran dan
keadilan
|
1.
Sikap dan sua- sana kekeluar- gaan dan kego- tongroyongan
2.
Sikap adil
3.
Menjaga ke- harmonisan an- tara hak dan kewajiban
4.
Hormat terha- dap hak-hak orang lain
5.
Sikap suka me- nolong orang lain
6.
Jauh dari sikap pemerasan
7.
Tidak boros
8.
Tidak bergaya hidup mewah
9.
Suka bekerja keras
10.
Menghargai karya orang lain
|
Nilai,
pola perilaku, atau karakter bangsa ini harus dapat diturunkan dan
diimplementasikan untuk membangun karakter individu yang diterapkan di berbagai
macam komunitas di masyarakat, termasuk masyarakat sekolah. Dalam perspektif
karakter individu dengan menggunakan pendekatan psikologis, nilai, pola perilaku,
atau karakter bangsa yang terdapat dalam setiap sila Pancasila ditempatkan
dalam kerangka referensi olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa
(Kemendikbud, 2013). Muatan dari keempat olah tersebut dijabarkan seperti yang
tercantum dalam Kebijakan Nasional, Pembangunan Karakter Bangsa, Tahun
2010-2025, seperti gambar 1 berikut :
![]() |
![]() |
![]() |
||||||||||||
![]() |
||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||
![]() |
![]() |
|||||||||||||
![]() |
||||||||||||||
![]() |
![]() |
|||||||||||||


![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
Muatan karakter yang berasal dari olah hati, olah pikir, olah raga, olah
rasa dan karsa yang diturunkan dari setiap sila Pancasila, kemudian dipilih
satu jenis karakter (Kemendikbud, 2013), yaitu :
1. Karakter yang bersumber dari olah hati adalah
beriman dan bertakwa, jujur,
amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggungjawab, berempati, berani
mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.
2. Karakter yang bersumber dari oleh pikir adalah cerdas, kritis, kreatf,
inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi ipteks, dan reflektif.
3. Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika
adalah bersih dan sehat, sportif, tangguh,
andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria,
dan gigih.
4. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa
kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat,
toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan
umum, cinta tanah air (patrioitisme), bangga menggunakan bahasa dan produk
Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
Dari
nilai, pola perilaku, atau karakter tersebut diambil satu karakter sebagai
nilai-nilai dasar (esensial) karakter yang diberlakukan untuk masyarakat
persekolahan, yaitu sebagaimana tabel 3 berikut (Kemendikbud, 2013).
Tabel 3
Pengertian Jujur, Cerdas, Tangguh, dan Peduli
Nilai-nilai
Dasar Pendidikan Karakter
|
Deskripsi
|
Jujur
|
Lurus hati, tidak
berbohong; tidak curang; tulus; ikhlas
|
Tangguh
|
Sukar dikalahkan; kuat;
andal; kuat sekali pendiriannya; tabah dan tahan menderita
|
Cerdas
|
Sempurna perkembangan
akal budinya untuk berpikir, tajam pikirannya
|
Peduli
|
Mengindahkan;
memperhatikan; menghiraukan
|
Nilai-nilai dasar inilah yang sepatutnya diimplementasikan di lingkungan
masyarakat persekolahan sebagai Citizenship Education, karena nilai-nilai yang
terakhir ini benar-benar jelas turunan dari sila-sila Pancasila sebagai
karakter bangsa, untuk dijadikan menjadi karakter individu dalam lingkungan
komunitas tertentu, yakni masyarakat persekolahan, dan Civic Education melalui
mata pelajaran di kelas.
Strategi Implementasi di Sekolah
Strategi
implementasi nilai-nilai esensial sebagai basis revolusi mental (karakter) yang
dilakukan secara umum di sekolah merupakan Citizenship Education yang dilakukan
oleh semua guru dan peserta didik dalam
semua kegiatan sekolah, baik intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang bertujuan
menumbuhkembangkan nilai-nilai esensial sebagai basis pengembangan karakter
kewarganegaraan, sementara kegiatan Civic Education secara khusus dilakukan
oleh guru dan peserta didik dalam mata pelajaran PKn di kelas. Strategi
implementasi yang perlu dilakukan sekolah adalah terdiri dari :
1. Nilai-nilai dasar karakter sebagai basis revolusi
mental (karakter) harus ada dan terindikasi secara tertulis dalam visi, misi,
dan tujuan maupun program dan kegiatan Citizenship Education di sekolah dan
Civic Education di kelas, terencana dan terukur perubahan dan capaiannya
melalui indikasi-indikasi tertentu, direalisasikan melalui proses, penataan
kehidupan situasi lingkungan sekolah dan kegiatan pendidikan serta tujuan yang
diharapkan.
2. Proses
implementasi nilai-nilai dasar karakter
sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam kegiatan Citizenship Education/Civic
Education yang dilakukan guru di sekolah berdasarkan dan
mengacu pada tujuan dan berorientasi serta merealisasikan nilai-nilai dasar
karakter ke dalam kegiatan-kegiatan berbasis siklus waktu (harian, mingguan,
bulanan, semesteran dan tahunan ) dan lokus kegiatan ( di dalam kelas, di luar
kelas, di komunitas tertentu dan masyarakat dalam bentuk service learning atau
civic proyect)
3. Setiap
implementasi nilai-nilai dasar karakter
sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam kegiatan Citizenship Education/Civic
Education yang dilakukan di sekolah berlandaskan pada tujuan,
materi, metode, dan evaluasi yang diselaraskan dengan siklus waktu dan lokus
kegiatan.
4. Kegiatan
implementasi nilai-nilai dasar
karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam Citizenship Education di
sekolah dan Civic Education di
kelas
akan lebih efektif, jika dilakukan dengan muatan tujuan, materi, metode dan
evaluasi yang selaras dan sinergis dengan kondisi lokus dan waktu kegiatan,
menerapkan secara kreatif beragam strategi pembelajaran yang berbasis pada teori dan model pendidikan karakter moral dan
menyesuaikan pada kondisi sosial dan budaya masyarakat di lingkungan sekolah.
5. Materi
kegiatan implementasi nilai-nilai
dasar karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam kegiatan
Citizenship Education di sekolah dan Civic Education di kelas
disusun secara jelas, rinci dan kontekstual dan berorientasi pada pengembangan
potensi peserta didik agar lebih efektif dan mudah mengukur keberhasilannya.
6. Metode
implementasi nilai-nilai dasar
karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam kegiatan Citizenship
Education di sekolah dan Civic
Education di kelas dilaksanakan secara beragam, kreatif,
melihat “siapa dan kondisi” yang dihadapi dan terstandar, baik metode pada
kegiatan pengembangan diri maupun metode pada materi pelajaran, akan
menumbuhkan dan mengembangkan potensi diri untuk membentuk karakter diri
peserta didik sesuai dengan nilai-nilai dasar yang diharapkan.
7. Evaluasi
implementasi nilai-nilai dasar
karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam kegiatan Citizenship
Education di sekolah dan Civic
Education di kelas sepatutnya dilakukan secara beragam,
komprehensif, berkelanjutan, terbuka, dan terstandar, terdiri atas evaluasi
yang dilakukan guru, tim pemantau peserta didik, wali kelas dan sekolah akan
menghasilkan potret karakter yang integral dari nilai-nilai dasar yang
dikehendaki, sosok peserta didik yang jujur, tangguh, cerdas dan peduli.
Kesimpulan
1. Revolusi mental (karakter) adalah gerakan
transformasi tiga aspek manusia secara integral, yaitu aku yang percaya
(afektif), aku yang berpikir (kognitif), dan aku yang bertindak (psikomotor),
yang berlangsung baik dalam skala individu, kelompok, masyarakat, maupun skala
bangsa, dilakukan secara terus-menerus, terindikasi secara berkelanjutan,
menunjukkan adanya tahapan perubahan (sosialized, internalized, personalized,
civilized), sehingga berperilaku benar secara moral berdasarkan nilai-nilai
Pancasila dan nilai-nilai esensial, serta memiliki mentalitas anti, beretos
kemajuan, modern dan kompetitif segala lini kehidupan.
2. Nilai-nilai dasar yang sepatutnya diimplementasikan
di lingkungan masyarakat persekolahan sebagai Citizenship Education, adalah
nilai-nilai yang benar-benar jelas turunan dari sila-sila Pancasila sebagai
karakter bangsa, untuk dijadikan menjadi karakter individu dalam lingkungan
komunitas tertentu, yakni masyarakat persekolahan, dan Civic Education melalui
mata pelajaran di kelas, seperti jujur, tangguh, cerdas dan peduli.
3. Implementasi nilai-nilai dasar karakter sebagai
basis revolusi mental (karakter) harus ada dan terindikasi secara tertulis dalam
visi, misi, tujuan, program dan kegiatan Citizenship Education sekolah dan
Civic Education di kelas, terencana dan terukur perubahan dan capaiannya
melalui indikasi-indikasi tertentu, direalisasikan melalui proses, penataan
kehidupan situasi lingkungan sekolah dan kegiatan pendidikan (materi, metode,
evaluasi) serta tujuan yang diharapkan.
Sumber Rujukan
Anis
Baswedan. (2014). Nawacita Pemerintah
Jokowi-JK Terkait Pendidikan. Online. http.liputan6.com. [22 Oktober 2015]
Berkowitz,
Marvin. (2002). The Science of Character Education in Damon, William.(2002). Bringing in aneh Era in Character Education.
California: Stanford University Hoover Institution Press.
C.A.
Van Peursen, (1975).
Strategi Kebudayaan, Jogyakarta: Penerbit Kanisius
Government Public Relations (GPR)
Report.(2015). Revolusi Mental.
Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian
Komunikasi dan Informatika RI.
Heddy Shri Ahimsa-Putra. (2014).
Strategi Kebudayaan untuk Revolusi Mental di Indonesia, dalam Semiarto Aji
Purwanto.(2014). Revolusi Mental sebagai
Strategi Kebudayaan. Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kemendikbud.
Karlina Supelli. (2014). Revolusi Mental
sebagai Paradigma Strategi Kebudayaan, dalam Semiarto Aji Purwanto.(2014). Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan.
Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kebudayaan Kemendikbud
Kartini Kartono dan Jenny Andari (1989).
Hygiene Mental dan Kesehatan Mental.
Bandung: Mandar Maju.
Kemendikbud. (2013). Naskah Akademik Pendidikan Karakter di
Perguruan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Kemendiknas. (2010). Kerangka Acuan Pendidikan Karakter. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Koentjaraningrat. (1987). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Martadi,
2010. Grand Design Pendidikan Karakter.
Makalah pada Saresehan Nasional Pendidikan Karakter 2010. Koordinator Kopertis
Wilayah XI Kalimantan.
Mochtar Lubis.(1985). Transformasi
Budaya untuk Masa Depan. Jakarta: Gunung Agung
Mulyawan Karim (ed).2010. Rindu
Pancasila. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Paulus
Wirutomo (2015). Mengapa Indonesia Membutuhkan Revolusi Mental, dalam
Government Public Relations (GPR) Report.(2015). Revolusi Mental. Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Pusat Kurikulum. (2010). Bahan Pelatihan; Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan
Karakter Bangsa. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional.
Pusat Kurikulum dan Perbukuan. (2011). Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter
(Berdasarkan Pengalaman Di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional.
Sarbaini. 2015. Implementasi Pancasila: Rejuvenasi, Revitalisasi, Refungsionalisasi dan
Reaktualisasi. Makalah. Temu Pakar/Tokoh. Implementasi Pancasila, UUD NRI
1945 dan Sistem Ketatanegaraaan tanggal 22 Oktober 2015 di Hotel Aria Barito.
Banjarmasin : Kerjasama MPR RI dengan Universitas Lambung Mangkurat
Semiarto Aji Purwanto.(2014). Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan,
Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kebudayaan Kemendikbud.
Soemarno Soemarsono. (2009). Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju
Terang. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Winarno.2010.
Implementasi Pancasila melalui Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education). Makalah Seminar Internasional di
Universitas Sultan Idris (UPSI) dengan tema Pengalaman Indonesia dan Malaysia
dalam hal Pembinaan warga negara yang cerdas dan bak, tanggal 13 April 2010.
Thomas Kuhn. (1962). The Structure of Scientific Revolutions.
Chicago: University of Chicago Press.
Thomas Lickona. (1992). Educating for Character. How Our Schools Can
Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Book
Tilaar,
HAR, 2008. Karakteristik Bangsa dalam Perspektif Pedagogik Kontemporer, dalam
Saifudin dan Karim, Refleksi Karakter
Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antropologi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar