Selasa, 16 Februari 2016

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ESENSIAL SEBAGAI BASIS REVOLUSI KARAKTER DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ESENSIAL SEBAGAI BASIS REVOLUSI KARAKTER DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH

Sarbaini,
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Ketua AP3KnI Provinsi Kalimantan Selatan
sarbainiunlambjm1959@gmail.com sar8aini59@yahoo.com

Makalah dalam Seminar Nasional dan Rapat Kerja AP3KnI “Revolusi Pendidikan Karakter Bangsa”, 28-29 Oktober 2015. Malang: Prodi PPKn Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan FIS Universitas Negeri Malang

ABSTRAK

Para ilmuwan sosial sejak pertengahan dasawarsa 1970an sudah mengisyaratkan transformasi mental masyarakat Indonesia, agar dapat hidup modern (Lubis, 1985); yang memerlukan syarat tumbuhnya mentalistas pembangunan (Koentjaraningrat, 1987). Di sisi lain, disadari bahwa di tingkat budaya, sikap-sikap negatif atau tidak sesuai dengan kondisi ideal terus diperlihatkan secara masif dan terus menerus. Hal ini sejalan dengan kondisi Pendidikan Kewarganegaraan, yakni substansi dan tujuan PPKn yang mengandung muatan nilai-nilai Pancasila, seringkali terjadi jurang antara yang diajarkan di sekolah (nilai ideal) dengan kehidupan nyata di masyarakat (nilai real). Selain itu, sepanjang sejarah, mata pelajaran yang bekaitan dengan moral warga negara (Kewarganegaraan, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan) selalu dikaitkan dengan degradasi moral bangsa. Makalah ini memaparkan nilai-nilai esensial yang menjadi landasan bagi revolusi karakter dalam PKn, dan bagaimana implementasinya di sekolah

Kata kunci: nilai esensial, revolusi karakter, pendidikan kewarganegaraan



Latar Belakang
Para ilmuwan sosial sejak pertengahan dasawarsa 1970an sudah mengisyaratkan transformasi mental masyarakat Indonesia, agar dapat hidup modern (Lubis, 1985); yang memerlukan syarat tumbuhnya mentalistas pembangunan (Koentjaraningrat, 1987). Di sisi lain, disadari bahwa di tingkat budaya, sikap-sikap negatif atau tidak sesuai dengan kondisi ideal terus diperlihatkan secara masif dan terus menerus. Kondisi degradasi moral sangat mengkhawatirkan, jika dibiarkan akan menyebabkan terjadinya krisis karakter di Indonesia.


Kondisi degradasi moral yang terjadi di Indonesia, nampaknya sejalan dengan indikasi degradasi moral yang menjadi tanda kehancuan suatu negara, seperti dikemukakan oleh Lickona (1992), yaitu meningkatnya kekerasan pada remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya saling curiga dan kebencian di antara sesamanya.
Kondisi demikian juga nampaknya relevan dengan apa yang dikhawatirkan Mahatma Gandhi (Soemarno, 2010) tentang tujuh dosa yang mematikan, yaitu : berkembangnya nilai dan perilaku budaya kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan.
Dilihat dari perspektif Pancasila sebagai falsafah maupun ideologi negara, maka Pancasila dalam implementasi sila-sila Pancasila di kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara telah terjadi pergeseran, penyimpangan dan pelanggaran. Beberapa pergeseran, penyimpangan dan pelanggaran adalah (Mulyawan Karim, 2010, Sarbaini, 2015) :
1.        Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila adalah “roh, dasar dan tujuan” bagi keempat sila lainnya, baik dalam konteks ketauhidan individu maupun kesalehan sosial, yang hasilnya bermuara pada keadilan sosial. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar penghayatan dan pengamalan Pancasila, tampaknya masih belum dihayati benar oleh masyarakat pemeluk agama dan aparat pemerintahan sendiri, belum terjadi tranformasi nilai-nilai. Buktinya dalam kehidupan masih terdapat perilaku kekerasan atas nama agama, memuliakan agama daripada Tuhan,tindakan secara sepihak melakukan pemaksaan dan memaksakan kebenaran agama menurut pahamnya kepada pihak lain, kesalehan hanya terhenti pada acara ritual-formalistik, tidak berdampak pada kehidupan sosial kemasyarakatan, juga dalam praksis aparat pemerintahan. Namun yang paling miris bagi sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basis “tauhid” dan sumber bagi perapan sila-silal lainnya bergeser menjadi “Keuangan Yang Maha Kuasa” sebagai “tauhid materialisme” dalam berbagai aspek kehidupan. Tauhid materialisme lahir karena prinsip-prinsip neoliberalisme yang diterapkan oleh pemerintah dalam sistem ekonomi, yang membuahkan anak-pinak dampaknya dalam sistem-sistem kehidupan lainnya.
2.        Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sila kedua, menghendaki manusia berlaku adil dan beradab, mulai robek di sana-sini. Di dalam kehidupan sekarang, kita dipertontonkan kekerasan demi kekerasan, terutama dari massmedia dan dunia maya. Kekerasan politik, vertikal dan horisontal secara privat maupun publik menjadi hal-hal yang biasa dilihat dan disaksikan, seperti pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, merampas hak-hak sipil, politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, parodi kesenjangan sosial ekonomi, istilah “kamu” dan “kami: menggeser “kita”, gaya hidup “eksklusivisme”. Ini  manifestasi produk dari kekerasan kultural, karena melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak. Fenomena “asap” mungkinkah merupakan manifestasi kekerasan kultural? Masyarakat kehilangan hak hidup karena kerusakan sosial-ekologis dan perampasan sumber daya, korupsi yang merajalela, bahkan persengkongkolan penguasa dan pengusaha korup menjadi asal muasal kemelaratan rakyat. Korupsi kemanusiaan atau  Kemanusiaan yang terkorupsi? Sehingga berani melanggar peraturan yang dibuat sendiri, atau peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, kesemrawutan lalulintas adalah salah satu buktinya.
3.        Persatuan Indonesia, adalah esensi Pancasila dan utuhnya negara-bangsa Indonesia ini. Berbagai upaya dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini untuk memperkuat persatuan bangsa. Wawasan Nusantara, Satelit Palapa, Manunggal ABRI-Rakyat, Bela Negara, merupakan gagasan dan tindakan untuk memperkuat persatuan Indonesia. Sama halnya dengan sila yang lain, maka persatuan bangsa akan terganggu, sejumlah sengketa hukum kasus kehutanan, pertambangan nampakya perlu ditangani secara adil dan tegas. Era otonomi daerah telah mengeliminasi disintegrasi, namun dampak lainnya adalah korupsi yang merajalela di tingkat daerah, penyalahgunaan wewenang terjadi di mana-mana, elite bermain, rakyat yang menjadi korban. Kondisi ini dapat dilihat di daerah perdesaan, terjauh dan di perbatasan, khususnya kesejahteraan rakyat.
4.        Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan perwakilan. Demokrasi berbasis pada hikmat dan musyawarah. Namun di zaman reformasi, bangsa Indonesia sedang menjalankan demokrasi tanpa nilai-nilai yang menjadi acuan, permusyarawatan menjadi hilang,  belajar atau bereksperimen dengan demokrasi ? melalui atau mewujud menjadi demokrasi transaksional. Ekses paling nyata dari menguatnya peranan partai politik dan parlemen pascareformasi adalah indikasi adanya permusyawaratan transaksional (usulan-usulan anggaran kontroversial). Selain itu Partai politik menjadi penyewa perahu bagi kandidat untuk maju dalam pilkada; dan itu uang. Kandidat harus membayar konsultan politik untuk memoles citra dan itu berarti uang, untuk pemilih pun harus diberi uang. Bagi pemilih, jika tidak memberi uang, maka kandidat tidak akan dipilih. Kapital menjadi salah satu faktor penting, akankah politik dikuasai kelompok berkapital besar, sementara kita tidak tahu dari mana kapital itu asal-muasalnya. “Keuangan Yang Maha Kuasa”
5.        Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesial, adalah hilir dari pengamalan sila-sila yang dimulai dari sila Ketuhanan, sila Kemanusiaan, sila Persatuan, dan Kerakyatan. Sila keadilan adalah kualitas dari semua pengalaman sila-sila lainnya. Jika hulu utama dari Pancasila, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa benar-benar dijadikan landasan “tauhid individu” dan “kesalehan sosial”, maka akan membuahkan manusia yang adil dan beradab, memperkuat persatuan,  dan mengutamakan hikmat dan permusyawaratan, akhirnya mewujud pada keadilan sosial. Akan tetapi bila “Keuangan Yang Maha Kuasa” menjadi azas “tauhid individu”, maka yang terwujud adalah “keserakahan sosial”, menjadi manusia yang zalim dan rakus, merobek persatuan, dan menunggangi kerakyatan untuk kepenting pribadi dan kelompok, dan ketidakadilan dalam semua lini kehidupan.
Sementara Paulus Wirutomo (2015) sebagai Ketua Pokja Revolusi mental (karakter) mengemukakan kondisi yang terjadi di Indonesia adalah (1) terjadinya krisis karakter, dengan indikasi; Ada sesuatu yang salah tentang nilai. Ada nilai luhur bangsa yang terlupa; orang yang berperilaku baik, jujur dan bersih, justru tidak populer, mereka yang baik menjadi musuh bersama; peradaban Indonesia sedang berhenti; krisis mental harus diubah dengan cepat; orang merasa pantas dan berhak melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain. (2) Intoleransi, indikasinya; saat ini toleransi mengalami kemunduran dibandingkan 15 tahun yang lalu. (3) Pemerintah, ada tapi tidak hadir, indikasinya; birokrasi sekarang, gendut berbelit, rapuh: kondisi semakin buruk, karena pemerintahan semakin tidak mendengarkan (rakyat), ada tetapi tidak hadir; penegakkan hukum tidak jelas, antara yang salah san benar tergantung lobby; banyak pejabat melakukan impunitas bagi pelaku kekerasan, bahkan dibentangkan karpet merah; masyarakat mengalami hilang kepercayaan kepada pemerintah. (4). Rakyat sebagai objek pembangunan, indikasinya; ada pandangan masyarakat bahwa perempuan adalah warga kelas dua; yang perlu dirubah adalah mentalitas proyek. Kondisi yang terjadi di Indonesia secara substansi menunjukan tiga permasalahan yan dialami bangsa Indonesia, (1) kewibawaan negara yang merosot; (2) daya saing yang rendah; (3) intoleransi dan rapuhnya persatuan bangsa, jika dibiarkan akan terjadi disintegrasi bangsa, dan akan mengancam eksistensi NKRI.
Problematik lain adalah sejak tahun 2003, yaitu berdasarkan UU SPN, mata pelajaran Pendidikan Pancasila di sekolah dan mata kuliah Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, justru ditiadakan. Peniadaan demikian seakan-akan “mengusir” Pendidikan Pancasila dari kurikulum pendidikan nasional (Winarno, 2010), dampaknya mahasiswa dan peserta didik tidak mendapatkan pengetahuan tentang Pancasila, apalagi untuk menghayati dan mengamalkannya. Meskipun demikian materi tentang Pancasila ditampung dalam Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi substansi dan tujuan kajian Pancasila sebagai materi perlu dikembangkan menjadi pengembang karakter keindonesiaan yang berbasis nilai-nilai Pancasila.
Ironisnya substansi dan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang mengembangkan karakter keIndonesiaan berbasis nilai-nilai Pancasila selalu bertentangan dengan nilai-nilai real di masyarakat. Selain itu, sepanjang sejarah, mata pelajaran yang berkaitan dengan moral warga negara (Kewarganegaraan, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan) selalu dikaitkan dengan degradasi moral bangsa.
Kondisi masyarakat dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) demikian perlu dilakukan perubahan, khususnya yang berkaitan dengan karakter manusia, khususnya peserta didik, sehingga sudah saatnya dilakukan Revolusi mental (karakter). Namun revolusi mental (karakter) manakah yang dimaksud, nilai-nilai esensial apakah yang menjadi basis revolusi karakter dalam PKn, dan bagaimana implementasinya di sekolah.
                      
Revolusi Mental (Karakter)
Revolusi mental (karakter) menjadi diksi yang populer, sejak Presiden Jokowi melontarkannya sebagai isu-isu strategis dalam kampanye pemilihan calon presiden, hingga menjadi salah satu Nawacitanya, yakni melakukan revolusi karakter bangsa, melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan.
Sementara menurut Mendikbud Anis Baswedan (2104) memaparkan Nawacita yang terkait dengan pendidikan, yaitu :
1.    Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, melalui program “Indonesia Pintar” dengan “Wajib Belajar 12 tahun bebas pungutan.
2.    Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dengan membangun sejulan science and technopark di kawasan politeknik dan SMK-SMK dengan prasarana dan sarana teknologi terkini.
3.    Melakukan revolusi karakter bangsa, dengan membangun pendidikan kewarganegaraan; menghilangkan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional; jaminan hidup yang memadai bagi para guru, terutama bagi guru yang ditugaskan di daerah terpencil
4.    Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia, dengan memperkuat pendidikan ke-bhineka-an dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga; mengembangkan insetif khusus untuk memperkenalkan dan mengangkat kebudayaan lokal; dan meningkatkan proses pertukaran budaya untuk membangun kemajemukan sebagai kekuatan budaya.
Berpijak pada Nawacita Presiden Jokowi dan Mendikbud Anis Baswedan, maka Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai tugas yang utama, yakni melakukan revolusi karakter bangsa, dan berperanserta dalam membangun PKn.

Revolusi
Istilah revolusi pada mulanya, menurut Karlina Supelli (2014) tidak memiliki arti sebagaimana kita sekarang memilikinya. Pada abad ke-13, istilah revolusi digunakan untuk menggambarkan gerak benda-benda langit yang senantiasa beredar balik (revolvere). Sementara perubahan mendasar dalam cara pandang beserta metode dan praktiknya sampai permulaan zaman modern digunakan istilah renovasi atau restorasi (Francis Bacon). Baru sesudah peristiwa pemakzulan Raja Inggris 1688, perjuangan koloni Amerika terhadap Inggris tahun 1775-1783, dan penggulingan Raja Lous VI di Perancis tahun 1789-1799,  istilah revolusi digunakan untuk menunjukkan perubahan sosial-politik yang berlangsung cepat dan radikal, serta tidak jarang disertai kekerasan. Dalam sains, istilah “revolusi keilmuan” mulai lazim digunakan untuk menandai suatu episode keilmuan yang ditandai dengan keterputusan paradigma, karena munculnya paradigma baru yang sepenuh berbeda (Thomas Kuhn, 1962).
Dengan demikian revolusi perubahan ketatanegaraan (pemerintahan) atau keadaan sosial yang dilakukan dengan kekerasan fisik (dimensi sosial-politik), perubahan cukup mendasar dalam suatu bidang ilmu (dimensi sains) dan peredaran bumi dan planet-planet lain dalam mengelilingi matahari (dimensi geografi). Inti dari makna istilah revolusi adalah transformasi, perubahan rupa, perubahan struktur dasar menjadi struktur lahir (KBBI).

Mental
Secara etimologi kata mental berasal dari bahasa Latin “mens” atau metis”, yang memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, atau semangat. Mental adalah hal-hal yang berkaitan dengan psycho atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Setiap perilaku dan ekspresi gerak-gerak individu merupaka dorongan dan cerminan dari kondisi (suasana) mental (Kartini Kartono dan Jenny Andari, 1989 ).
Sementara Karlina Supelli (2014) mengemukakan istilah mental adalah nama bagi genangan segala sesuatu yang menyangkut cara hidup. Hal-hal yang bersifat mental, kendati tidak bersifat fisik, tetapi selalu terkait dengan hal-hal keragawian tindakan dan ciri fisik benda-benda di dunia. Dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Cara hidup zaman tertentu adalah cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini sesuatu, cara berperilaku dan bertindak dipengaruhi oleh zaman, sehingga disebut mentalitas zaman. Jadi mental dipengaruhi oleh jiwa, struktur dasar manusia, namun juga dipengaruhi unsur fisik, yakni struktur lahir. Kedua struktur ini secara timbal balik dipengaruhi oleh zaman, maka lahirlah “mentalitas zaman”.

Karakter
Istilah karakter (character) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan watak, adalah sifat-sifat hakiki seseorang atau suatu kelompok atau bangsa yang sangat menonjol sehingga dapat dikenali dalam berbagai situasi atau merupakan trade mark atau ciri khas orang tersebut (Tilaar, 2008). Karakter adalah perangkat individual dari karakteristik psikologis yang mempengaruhi kemampuan dan kecenderungan seseorang untuk berfungsi secara moral. Karakter adalah terdiri dari karakteristik-karakteristik yang mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang benar atau tidak melakukan sesuatu yang benar (Berkowitz, 2002). Lickona (Martadi, 2010) merujuk pada konsep good character yang dikemukakan oleh Aristoteles “... the life of right conduct-right conduct in relation to other persons and in relation to one self (karakter dapat dimaknai sebagai kehidupan berperilaku baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan YME, manusia, dan alam semesta) dan terhadap diri sendiri).

Revolusi mental (Karakter)
Istilah revolusi mental (karakter) menjadi hangat dibicarakan, namun dikupas secara mendalam, apa makna di balik istilah itu. Revolusi mental (karakter) menurut Soekarno merupakan satu gerakan untuk menggembleng manusa Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala (Soekarno, GPR Revolusi mental, 2015). Makna revolusi dari Soekarno ini nampak gerakan untuk membentuk etos manusia Indonesia. Sebagai referensi GPR Revolusi mental, (2015) menawarkan makna Revolusi mental (karakter), yaitu :
1.    Revolusi mental (karakter) merupakan gerakan seluruh masyarakat (pemerintah dan rakyat) dengan cara cepat, untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis yang diperlukan oleh bangsa dan negara, untuk mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat, sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi.
2.    Revolusi mental (karakter) sebagai gerakan mengubah cara pandang, pikiran, sikap dan perilaku ssetiap orang, untuk berorientasi pada kemajuan dan kemodernan, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa di dunia.
Kedua definisi revolusi mental (karakter) ini selain menuju gerakan untuk melakukan transformasi secara cepat terhadap ketiga aspek manusia (kognitif, afektif, dan psikomotor), berdasarkan nilai-nilai strategis, dan berorientasi pada kemajuan, kemodernan, dan kompetitif, guna memenangkan persaingan. Namun tidak memuat nilai-nilai luhur, sebagai landasan dari nilai-nilai strategis, yakni nilai-nilai luhur Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan sebagai nilai-nilai ideal, esensial dan nilai-nilai inti. Nilai-nilai strategis adalah nilai instrumental yang digunakan untuk mengarungi dunia yang berorientasi pada kemajuan, keemodernan dan kompetitif.
Revolusi mental (karakter) juga merupakan suatu bentuk strategi kebudayaan yang memberi arah bagi terciptanya kemaslahatan hidup berbangsa dan bernegara, basis revolusi mental (karakter) adalah Pancasila, dengan tiga prinsip dasar Trisaksi; Berdaulatan secara politik, Berdikari dalam bidang ekonomi, dan Bekepribadian dalam bidang kebudayaan. Strategi kebudayaan lebih dari sekedar kebijakan, melainkan sebuah pengamatan terus menerus atas dinamika sosial budaya di masyarakat;segala konflik dan pertentangan yang terjadi, untuk diolah menjadi suatu pelajaran (Semiarto Aji Purwanto, 2014; Van Peursen, 1996). Revolusi mental (karakter) sebagai sebuah strategi kebudayaan, menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra (2014) adalah digunakan untuk mengatasi berbagai mentalitas negatif dengan antitesinya, yaitu “mentalitas anti”, yaitu (1) anti-kebodohan-pembodohan; (2) anti-kecurangan dan pencurangan; (3) anti-kesenjangan dan penyenjangan; (4) anti-rendah diri dan perendahan; dan (5) anti-kerusuhan dan perusuhan.
Jadi revolusi mental (karakter) adalah gerakan transformasi tiga aspek manusia secara integral, yaitu aku yang percaya (afektif), aku yang berpikir (kognitif), dan aku yang bertindak (psikomotor), yang berlangsung baik dalam skala individu, kelompok, masyarakat, maupun skala bangsa, dilakukan secara terus-menerus, terindikasi secara berkelanjutan menunjukkan adanya tahapan perubahan pada ketiga domain manusia (sosialized, internalized, personalized, civilized), sehingga berperilaku benar secara moral berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai esensial-strategis, serta memiliki mentalitas anti, beretos kemajuan, modern dan kompetitif segala lini kehidupan.

Nilai-Nilai Esensial Revolusi Mental (Karakter)
Landasan dan sumber dari revolusi mental (karakter) adalah nilai-nilai. Dapat dikatakan bahwa revolusi mental (karakter) berkaitan dengan perubahan orientasi nilai dan landasan nilai yang dasar dan orientasi dari berperilaku. Oleh karena itu perlu dikaji nilai-nilai esensial apakah yang menjadi muatan revolusi mental (karakter).
Salah satu wacana tentang nilai revolusi mental (karakter) adalah dari GPR Report (2015) yaitu (1) Integritas terdiri dari jujur, dipercaya, berkarakter, dan tanggungjawab; (2) Kerja keras, terdiri dari etos kerja, daya saing, optimis, inovatif, dan produktif; dan (3) Gotong Royong, terdiri dari kerjasama, solidaritas, komunal dan berorientasi pada kemaslahatan.
Bandingkan dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang disepakati untuk implementasi pendidikan karakter (Kemendiknas, 2010; Pusat Kurikulum, 2010, 2011) yang terdiri dari 18 nilai, sebagaimana pada tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Delapan Belas Nilai-nilai Budaya dan Karakter Bangsa

No
NILAI
DESKRIPSI
1
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya
2
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan
3
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya
4
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan
5
Kerja keras
Perilaku yan menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
6
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki
7
Mandiri
Sikap perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
8
Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
9
Rasa ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya unuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar
10
Semangat kebangsaan
Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya
11
Cinta tanah air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa
12
Menghargai prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain
13
Bersahabat/komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain
14
Cinta damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadirannya
15
Gemar membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya
16
Peduli lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berubah mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17
Peduli sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkannya
18
Tanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa

Referensi lainnya untuk nilai atau karakter bangsa Indonesia yang diturunkan dari setiap sila Pancasila. Hal demikian karena mengacu kepada hakekat Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia, artinya Pancasila telah menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia yang memberikan nilai, pola perilaku, atau karakter bangsa Indonesia. Nilai, pola perilaku, atau karakter bangsa tersebut merupakan karakter yang harus ada untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yan sesuai dengan falsafah dan dasar negara Pancasila.
Nilai, pola perilaku, atau karakter bangsa Indonesia tercermin dalam (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Adapun nilai, pola perilaku, atau karakter bangsa Indonesia yang diturunkan dari setiap sila Pancasila (Kemendikbud, 2013) dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Seperangkat Karakter dari Setiap Sila Pancasila

Ketuhanan Yang Maha Esa
Kemanusiaan
Persatuan dan Kesatuan
Kerakyatan
Keadilan Sosial
1.     Hormat dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan
2.     Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan itu
3.     Tidak memaksakan agama dan kepercayaan kepada orang lain
4.     Hubungan antara manusia dengan Tuhannya
1.     Persamaan derajat, hak, dan kewajiban
2.     Saling mencintai
3.     Tenggang rasa
4.     Tidak semena- mena terhadap orang lain
5.     Gemar melakukan kegiatan kema- nusiaan
6.     Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
7.     Berani membela kebenaran dan keadilan
8.     Merasakan diri- nya sebagai bagian dari selu-  ruh umat manu- sia serta meng- embangkan si- kap hormat- menghormati
1.     Menempatkan persatan, kesa- tuan,kepenting- an, dan kesela- matan bangsa di atas kepen- tingan pribadi atau golongan
2.     Rela berkorban untuk kepen- tingan bangsa dan negara
3.     Bangga menja- di bangsa Indo- nesia yang ber- tanah air Indo- nesia, serta menjunjung tinggi bahasa Indonesia
4.     Memajukan persatuan dan kesatuan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika
1.     Mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara
2.     Tidak memaksa- kan kehendak kepada orang lain
3.     Mengutamakan musyawarah un- tuk mufakat
4.     Beritikad baik dan dan bertang- gungjawab da- lam melaksana- kan keputusan bersama
5.     Menggunakan akal sehat dan nurani luhur dalam bermu- syawarah
6.     Mengambil ke- putusan yang se-   cara moral dapat dipertanggung- jawabkan kepa- da Tuhan Yang Maha Esa,  serta nilai kebe- naran dan keadilan
1.     Sikap dan sua- sana kekeluar- gaan dan kego- tongroyongan
2.     Sikap adil
3.     Menjaga ke- harmonisan an- tara hak dan kewajiban
4.     Hormat terha- dap hak-hak orang lain
5.     Sikap suka me- nolong orang lain
6.     Jauh dari sikap pemerasan
7.     Tidak boros
8.     Tidak bergaya hidup mewah
9.     Suka bekerja keras
10. Menghargai karya orang lain


Nilai, pola perilaku, atau karakter bangsa ini harus dapat diturunkan dan diimplementasikan untuk membangun karakter individu yang diterapkan di berbagai macam komunitas di masyarakat, termasuk masyarakat sekolah. Dalam perspektif karakter individu dengan menggunakan pendekatan psikologis, nilai, pola perilaku, atau karakter bangsa yang terdapat dalam setiap sila Pancasila ditempatkan dalam kerangka referensi olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa (Kemendikbud, 2013). Muatan dari keempat olah tersebut dijabarkan seperti yang tercantum dalam Kebijakan Nasional, Pembangunan Karakter Bangsa, Tahun 2010-2025, seperti gambar 1 berikut :


 
















                                                                                                                   

Text Box: Citizenship education
di sekolah
Civic Education, mata
pelajaran PKn
di kelas
 










Muatan karakter yang berasal dari olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa yang diturunkan dari setiap sila Pancasila, kemudian dipilih satu jenis karakter (Kemendikbud, 2013), yaitu :
1.    Karakter yang bersumber dari olah hati adalah beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggungjawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.
2.    Karakter yang bersumber dari oleh pikir adalah cerdas, kritis, kreatf, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi ipteks, dan reflektif.
3.    Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika adalah bersih dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih.
4.    Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patrioitisme), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
Dari nilai, pola perilaku, atau karakter tersebut diambil satu karakter sebagai nilai-nilai dasar (esensial) karakter yang diberlakukan untuk masyarakat persekolahan, yaitu sebagaimana tabel 3 berikut (Kemendikbud, 2013).

Tabel 3 Pengertian Jujur, Cerdas, Tangguh, dan Peduli

Nilai-nilai Dasar Pendidikan Karakter
Deskripsi
Jujur
Lurus hati, tidak berbohong; tidak curang; tulus; ikhlas
Tangguh
Sukar dikalahkan; kuat; andal; kuat sekali pendiriannya; tabah dan tahan menderita
Cerdas
Sempurna perkembangan akal budinya untuk berpikir, tajam pikirannya
Peduli
Mengindahkan; memperhatikan; menghiraukan

Nilai-nilai dasar inilah yang sepatutnya diimplementasikan di lingkungan masyarakat persekolahan sebagai Citizenship Education, karena nilai-nilai yang terakhir ini benar-benar jelas turunan dari sila-sila Pancasila sebagai karakter bangsa, untuk dijadikan menjadi karakter individu dalam lingkungan komunitas tertentu, yakni masyarakat persekolahan, dan Civic Education melalui mata pelajaran di kelas.

Strategi Implementasi di Sekolah
Strategi implementasi nilai-nilai esensial sebagai basis revolusi mental (karakter) yang dilakukan secara umum di sekolah merupakan Citizenship Education yang dilakukan oleh semua guru dan peserta didik  dalam semua kegiatan sekolah, baik intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang bertujuan menumbuhkembangkan nilai-nilai esensial sebagai basis pengembangan karakter kewarganegaraan, sementara kegiatan Civic Education secara khusus dilakukan oleh guru dan peserta didik dalam mata pelajaran PKn di kelas. Strategi implementasi yang perlu dilakukan sekolah adalah terdiri dari :
1.    Nilai-nilai dasar karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) harus ada dan terindikasi secara tertulis dalam visi, misi, dan tujuan maupun program dan kegiatan Citizenship Education di sekolah dan Civic Education di kelas, terencana dan terukur perubahan dan capaiannya melalui indikasi-indikasi tertentu, direalisasikan melalui proses, penataan kehidupan situasi lingkungan sekolah dan kegiatan pendidikan serta tujuan yang diharapkan.
2.    Proses implementasi nilai-nilai dasar karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam kegiatan Citizenship Education/Civic Education yang dilakukan guru di sekolah berdasarkan dan mengacu pada tujuan dan berorientasi serta merealisasikan nilai-nilai dasar karakter ke dalam kegiatan-kegiatan berbasis siklus waktu (harian, mingguan, bulanan, semesteran dan tahunan ) dan lokus kegiatan ( di dalam kelas, di luar kelas, di komunitas tertentu dan masyarakat dalam bentuk service learning atau civic proyect)
3.    Setiap implementasi nilai-nilai dasar karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam kegiatan Citizenship Education/Civic Education yang dilakukan di sekolah berlandaskan pada tujuan, materi, metode, dan evaluasi yang diselaraskan dengan siklus waktu dan lokus kegiatan.
4.    Kegiatan implementasi nilai-nilai dasar karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam Citizenship Education di sekolah dan Civic Education di kelas akan lebih efektif, jika dilakukan dengan muatan tujuan, materi, metode dan evaluasi yang selaras dan sinergis dengan kondisi lokus dan waktu kegiatan, menerapkan secara kreatif beragam strategi pembelajaran yang berbasis pada  teori dan model pendidikan karakter moral dan menyesuaikan pada kondisi sosial dan budaya masyarakat di lingkungan sekolah.
5.    Materi kegiatan implementasi nilai-nilai dasar karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam kegiatan Citizenship Education di sekolah dan Civic Education di kelas disusun secara jelas, rinci dan kontekstual dan berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik agar lebih efektif dan mudah mengukur keberhasilannya.
6.    Metode implementasi nilai-nilai dasar karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam kegiatan Citizenship Education di sekolah dan Civic Education di kelas dilaksanakan secara beragam, kreatif, melihat “siapa dan kondisi” yang dihadapi dan terstandar, baik metode pada kegiatan pengembangan diri maupun metode pada materi pelajaran, akan menumbuhkan dan mengembangkan potensi diri untuk membentuk karakter diri peserta didik sesuai dengan nilai-nilai dasar yang diharapkan.
7.    Evaluasi implementasi nilai-nilai dasar karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) dalam kegiatan Citizenship Education di sekolah dan Civic Education di kelas sepatutnya dilakukan secara beragam, komprehensif, berkelanjutan, terbuka, dan terstandar, terdiri atas evaluasi yang dilakukan guru, tim pemantau peserta didik, wali kelas dan sekolah akan menghasilkan potret karakter yang integral dari nilai-nilai dasar yang dikehendaki, sosok peserta didik yang jujur, tangguh, cerdas dan peduli.

Kesimpulan
1.    Revolusi mental (karakter) adalah gerakan transformasi tiga aspek manusia secara integral, yaitu aku yang percaya (afektif), aku yang berpikir (kognitif), dan aku yang bertindak (psikomotor), yang berlangsung baik dalam skala individu, kelompok, masyarakat, maupun skala bangsa, dilakukan secara terus-menerus, terindikasi secara berkelanjutan, menunjukkan adanya tahapan perubahan (sosialized, internalized, personalized, civilized), sehingga berperilaku benar secara moral berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai esensial, serta memiliki mentalitas anti, beretos kemajuan, modern dan kompetitif segala lini kehidupan.
2.    Nilai-nilai dasar yang sepatutnya diimplementasikan di lingkungan masyarakat persekolahan sebagai Citizenship Education, adalah nilai-nilai yang benar-benar jelas turunan dari sila-sila Pancasila sebagai karakter bangsa, untuk dijadikan menjadi karakter individu dalam lingkungan komunitas tertentu, yakni masyarakat persekolahan, dan Civic Education melalui mata pelajaran di kelas, seperti jujur, tangguh, cerdas dan peduli.
3.    Implementasi nilai-nilai dasar karakter sebagai basis revolusi mental (karakter) harus ada dan terindikasi secara tertulis dalam visi, misi, tujuan, program dan kegiatan Citizenship Education sekolah dan Civic Education di kelas, terencana dan terukur perubahan dan capaiannya melalui indikasi-indikasi tertentu, direalisasikan melalui proses, penataan kehidupan situasi lingkungan sekolah dan kegiatan pendidikan (materi, metode, evaluasi) serta tujuan yang diharapkan.

Sumber Rujukan

Anis Baswedan. (2014). Nawacita Pemerintah Jokowi-JK Terkait Pendidikan. Online. http.liputan6.com. [22 Oktober 2015]

Berkowitz, Marvin. (2002). The Science of Character Education in Damon, William.(2002). Bringing in aneh Era in Character Education. California: Stanford University Hoover Institution Press.

C.A. Van Peursen, (1975). Strategi Kebudayaan, Jogyakarta: Penerbit Kanisius

Government Public Relations (GPR) Report.(2015). Revolusi Mental. Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.

Heddy Shri Ahimsa-Putra. (2014). Strategi Kebudayaan untuk Revolusi Mental di Indonesia, dalam Semiarto Aji Purwanto.(2014). Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kemendikbud.

Karlina Supelli. (2014). Revolusi Mental sebagai Paradigma Strategi Kebudayaan, dalam Semiarto Aji Purwanto.(2014). Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kemendikbud

Kartini Kartono dan Jenny Andari (1989). Hygiene Mental dan Kesehatan Mental. Bandung: Mandar Maju.

Kemendikbud. (2013). Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Kemendiknas. (2010). Kerangka Acuan Pendidikan Karakter. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Koentjaraningrat. (1987). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Martadi, 2010. Grand Design Pendidikan Karakter. Makalah pada Saresehan Nasional Pendidikan Karakter 2010. Koordinator Kopertis Wilayah XI Kalimantan.

Mochtar Lubis.(1985). Transformasi Budaya untuk Masa Depan. Jakarta: Gunung Agung

Mulyawan Karim (ed).2010. Rindu Pancasila. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Paulus Wirutomo (2015). Mengapa Indonesia Membutuhkan Revolusi Mental, dalam Government Public Relations (GPR) Report.(2015). Revolusi Mental. Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.

Pusat Kurikulum. (2010). Bahan Pelatihan; Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional.

Pusat Kurikulum dan Perbukuan. (2011). Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman Di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional.

Sarbaini. 2015. Implementasi Pancasila: Rejuvenasi, Revitalisasi, Refungsionalisasi dan Reaktualisasi. Makalah. Temu Pakar/Tokoh. Implementasi Pancasila, UUD NRI 1945 dan Sistem Ketatanegaraaan tanggal 22 Oktober 2015 di Hotel Aria Barito. Banjarmasin : Kerjasama MPR RI dengan Universitas Lambung Mangkurat

Semiarto Aji Purwanto.(2014). Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan, Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kemendikbud.

Soemarno Soemarsono. (2009). Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Winarno.2010. Implementasi Pancasila melalui Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Makalah Seminar Internasional di Universitas Sultan Idris (UPSI) dengan tema Pengalaman Indonesia dan Malaysia dalam hal Pembinaan warga negara yang cerdas dan bak, tanggal 13 April 2010.

Thomas Kuhn. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.

Thomas Lickona. (1992). Educating for Character. How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Book

Tilaar, HAR, 2008. Karakteristik Bangsa dalam Perspektif Pedagogik Kontemporer, dalam Saifudin dan Karim, Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antropologi Indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar